CONTOH BAB I
KINERJA KEUANGAN BANK PERKEREDITAN RAKYAT (BPR)
BKK KUNDURAN KABUPATEN BLORA

BAB III
ANALISIS DATA


3.1. Cara Penelitian
Penelitian ini dilakukan di BPR BKK Kunduran Kabupaten Blora Propinsi Jawa Tengah. Data yang akan digunakan adalah data primer dan sekunder, data primer diperoleh dengan melakukan wawancara dan kuisioner kepada Direktur beserta Staf BPR BKK Kunduran, Badan Pengawas serta Pejabat di Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Blora, disamping itu melakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian. Data sekunder yang digunakan adalah berupa laporan keuangan terdiri dari Neraca dan Laporan Rugi Laba posisi 31 Desember selama 5 tahun dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2000. Data-data pendukung yang dibutuhkan untuk menilai kinerja keuangan BPR BKK Kunduran, mengetahui pangsa pasar BPR BKK Kunduran terhadap perbankan yang ada di Kabupaten Blora dan perbankan se Propinsi Jawa Tengah, serta untuk mengetahui share-nya terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Blora adalah berupa :

a. Laporan collectibility
b. Laporan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)
c. Laporan Bank Indonesia Semarang mengenai Statistik Ekonomi-Keuangan Daerah Propinsi Jawa Tengah.
d. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Blora atas dasar harga konstan.

Data dan informasi tersebut diperoleh dari : 1) BPR BKK Kunduran, 2) Bagian Keuangan Sekretariat Daerah Kabupaten Blora, 3) Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Blora dan 4) Bank Indonesia Semarang, sedangkan data PDRB Kabupaten Blora diperoleh dari Biro Pusat Statistik Blora.

3.2 Deskripsi Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian lapangan, diperoleh gambaran tentang kinerja keuangan BPR BKK Kunduran, penguasaan pangsa pasar dan kemampuan intermediasi dana serta share terhadap PDRB sebagai berikut :

3.2.1. Penilaian tingkat kesahatan bank
Penilaian tingkat kesehatan bank sangat penting dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan bank tersebut dalam melaksanakan usahanya, disamping itu kesehatan bank merupakan kepentingan untuk semua pihak yang terkait, baik pemilik dan pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank maupun Bank Indonesia selaku pembina dan pengawas bank. Penilaian tingkat kesehatan Bank Perkreditan Rakyat dilakukan dengan menggunakan standar penilaian berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/12/KEP/DIR tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat tanggal 30 April 1997.

Tingkat kesehatan Bank pada dasarnya dinilai dengan pendekatan kuantitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangan suatu Bank. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan penilaian terhadap faktor-faktor permodalan, kualitas aktiva produktif, manajemen, rentabilitas dan likuiditas.

3.2.1.1 Penilaian dan perkembangan faktor permodalan. Modal merupakan salah satu faktor yang penting bagi Bank Perkreditan Rakyat dalam rangka pengembangan usaha dan menampung kemungkinan risiko kerugian. Bank Perkreditan Rakyat bekerja dengan menggunakan dana masyarakat, maka kepentingan masyarakat perlu lebih dilindungi. Penilaian terhadap faktor permodalan didasarkan pada rasio modal terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/20/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/2/BPPP tanggal 29 Mei 1993 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) bagi Bank Perkreditan Rakyat.

Penilaian faktor permodalan didasarkan pada pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM). Bank wajib menyediakan modal minimum /KPMM sebesar 8 % dari aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Perhitungan KPMM Bank Perkreditan Rakyat dilakukan dengan dua tahap, yaitu menghitung ATMR dan rasio modal terhadap ATMR. Dalam menghitung ATMR, pos-pos aktiva diberikan bobot risiko yang besarnya didasarkan pada kadar risiko yang terkandung pada aktiva itu sendiri atau bobot risiko yang didasarkan pada golongan nasabah, penjamin atau sifat dari barang jaminan. ATMR dihitung dengan cara mengalikan nilai nominal pos-pos aktiva dengan risiko bobot masing-masing, kemudian ATMR dari masing-masing pos aktiva dijumlahkan. Sedangkan untuk modal dihitung dengan menjumlahkan modal inti dan modal pelengkap. Dengan membandingkan jumlah modal dengan KPMM dapat diketahui kelebihan dan kekurangan modal bagi Bank Perkreditan yang bersangkutan. Adapun perhitungan ATMR dan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum BPR BKK Kunduran tersaji pada tabel 3.1 sampai 3.10, sebagai berikut:



Sumber : Bagian Kredit dan Bagian Pembukuan BPR BKK Kunduran, diolah.


Bersarkan perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) di atas menunjukkan terjadi peningkatan ATMR dari tahun 1996 sampai tahun 2000, kecuali pada tahun 1998. Pada tahun 1996 sebesar Rp 2.624.046.000,- dan tahun 2000 menjadi Rp 4.288.291.000,- Peningkatan ini terjadi karena adanya peningkatan tagihan kepada perorangan atau tagihan yang dijamin oleh perorangan, disamping itu karena peningkatan deposito berjangka, dan tabungan. Penurunan pada tahun 1998 disebabkan karena adanya pemindahan alokasi dana dari tagihan yang dijamin oleh perorangan ke deposito berjangka. Hasil perhitungan ATMR digunakan sebagai dasar untuk menentukan rasio KPMM. Rasio KPMM dari tahun 1996 sampai tahun 2000 mengalami penurunan. Pada tahun 1996 sebesar 21,23 % dan tahun 2000 menjadi16,40%. Walaupun terjadi penurunan namun masih dapat dikatagorikan sehat karena nilai rasionya diatas KPMM minimum yaitu sebesar 8% (lampiran 15). Berdasarkan hasil rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) selama tahun 1996 sampai tahun 2000, dapat dihitung nilai kreditnya. Nilai kredit untuk faktor permodalan dapat dihitung sebagaimana tabel 3.11 berikut :

3.2.1.2 Pinilaian dan perkembangan faktor kualitas aktiva produktif. Penilaian terhadap Kualitas Aktiva Produktif (KAP) didasarkan pada 2 (dua) rasio, yaitu rasio Aktiva Produktif Yang Diklasifikasikan (APD) terhadap Aktiva Produktif (AP) dan rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang dibentuk oleh Bank (PPAP) terhadap Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang wajib dibentuk oleh Bank (PPAPWD). Aktiva produktif adalah semua aktiva dalam rupiah yang dimiliki oleh BPR dengan maksud untuk memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya meliputi : a) kredit yang diberikan dan b) penempatan dana pada bank lain kecuali penanaman dalam bentuk giro. Aktiva yang diklasifikasikan adalah aktiva produktif, baik yang sudah maupun yang mengandung potensi tidak memberikan penghasilan atau menimbulkan kerugian bagi bank. Variabel yang diperhitungkan sebagai aktiva produktif yang diklasifikasikan adalah : a) 50 % dari aktiva produktif yang digolongkan kurang lancar, b) 75 % dari aktiva produktif yang digolongkan diragukan dan c) 100 % dari aktiva produktif yang digolongkan macet.

Besarnya Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang wajib dibentuk oleh Bank menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/167/KEP/DIR tentang Penyempurnaan Pembentukan PPAP tanggal 29 Maret 1994 sekurang-kurangnya sebesar : a) 0,5% dari aktiva produktif yang digolongkan lancar, dan b) 10 % dari aktiva produktif yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan yang dikuasai, dan c) 50% dari aktiva produktif yang digolongkan diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan yang dikuasai, dan d) 100 % dari aktiva produktif yang digolongkan macet setelah dikurangi dengan nilai agunan yang dikuasai. Nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang setinggi-tingginya 100% dari nilai agunan yang bersifat likuid yaitu uang kas, uang kertas asing, emas, mata uang emas serta giro, deposito dan tabungan pada bank yang bersangkutan, sedangkan untuk agunan lainnya setinggi-tingginya 75 % dari nilai agunan atau sebesar nilai yang ditetapkan oleh perusahaan. Perhitungan rasio aktiva produktif yang diklasifikasikan (APD) terhadap aktiva produktif (AP) serta perhitungan nilai kredit rasio ini, tersaji pada tabel 3.12 sebagai berikut :

Rasio aktiva produktif yang diklasifikasikan terhadap aktiva produktif selama 5 tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 1996 sebesar 2,90 % dan pada tahun 2000 menjadi 9,64 %. Peningkatan rasio ini menyebabkan nilai kreditnya menurun dan penilaian terhadap kualitas aktiva produktif juga mengalami penurunan, karena ciri dari rasio ini adalah semakin kecil nilai rasionya berarti kualitas kreditnya semakin baik. Walaupun terjadi peningkatan rasio aktiva produktif yang diklasifikasikan namun masih dapat dikatagorikan sehat, karena nilai rasio setiap tahunnya dibawah 10,35%, dimana nilai 10,35% adalah angka maksimum untuk dapat dikatagorikan sehat (lampiran 16). Perhitungan rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang dibentuk oleh bank terhadap Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang wajib dibentuk oleh bank (PPAPWD) serta perhitungan nilai kredit rasio ini, tesaji pada tabel 3.13, berikut ini :

Rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang dibentuk oleh bank terhadap Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang wajib dibentuk oleh bank (PPAPWD) dari tahun 1996 sampai tahun 2000 cenderung mengalami penurunan, pada tahun 1996 sebesar 185,35% menjadi 65,98% pada tahun 2000, penurunan ini juga menyebabkan penurunan nilai kredit. Standar minimum rasio PPAP terhadap PPAPWD masuk dalam katagori sehat adalah 81 % (lampiran 17), sehingga hanya pada tahun 1996 dan 1997 saja yang masuk dalam katagori sehat. Rasio ini mengukur tingkat kecukupan BPR dalam membentuk PPAPWD berdasarkan Kualitas Aktiva Produktif, semakin banyak kredit yang termasuk dalam kelompok kurang lancar, diragukan atau macet maka semakin besar pula PPAP yang harus dibentuk

3.2.1.3 Penilaian dan perkembangan faktor manajemen. Penilaian kuantitatif terhadap faktor manajemen mencakup 2 (dua) komponen yaitu manajemen umum dan manajemen risiko. Penilaian dilakukan dengan mengamati langsung kondisi BPR BKK Kunduran dan melalui kuisioner dengan daftar pertanyaan yang standar digunakan oleh Bank Indonesia dalam menilai tingkat kesehatan bank. Manajemen umum dan manajemen risiko dapat dikatagorikan sehat apabila memiliki total skor 81 (lampiran 18). Adapun hasil dari penilaian manajemen dapat ditampilkan pada tabel 3.14 berikut :

Perkembangan faktor manajemen menunjukkan bahwa nilai kredit untuk manajemen umum lebih baik dibandingkan manajemen risiko. Nilai kredit manajemen umum dan manajemen risiko cenderung menurun. Pada tahun 1996 nilai kredit manajemen umum sebesar 77,5 dan tahun 2000 menjadi 75, demikian pula halnya untuk manajemen risiko, pada tahun 1996 sebesar 73,3 dan tahun 2000 menjadi 71,7. Penilaian untuk faktor manajemen secara keseluruhan dari tahun 1996 sampai tahun 2000, tergolong cukup sehat karena total skor pertahunnya dibawah 81, dimana 81 standar minimal untuk dapat dikatakan sehat (lampiran 18)

3.2.1.4 Penilaian dan perkembangan faktor rentabilitas. Penilaian kuantitatif terhadap faktor rentabilitas didasarkan pada 2 (dua) rasio yaitu a) rasio laba sebelum pajak dalam 12 bulan terakhir terhadap rata-rata volume usaha dalam periode yang sama rasio ini sering disebut ROA, b) rasio biaya operasi dalam 12 bulan terakhir terhadap pendapatan operasional dalam periode yang sama, rasio ini sering disingkat dengan BOPO. Adapun perhitungan rasio laba sebelum pajak terhadap rata-rata volume usaha (ROA) BPR BKK Kunduran dan perhitungan nilai kreditnya terlihat pada tabel 3.15 berikut ini :

Rasio laba sebelum pajak terhadap rata-rata volume usaha (ROA) BPR BKK Kunduran selama 5 tahun terakhir cukup tinggi, namun ada kecenderungan mengalami penurunan. Pada tahun 1996 sebesar 17,76 % dan tahun 2000 menjadi 10,60 %. Nilai rasio ROA tersebut dapat dikatagorikan sehat karena diatas 1,215 %, yaitu nilai minimum ROA untuk dapat dikatagorikan sehat (lampiran 19). Perhitungan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) dan perhitungan nilai kredit rasio tersebut, tersaji dalam tabel 3.16 berikut :

Rasio biaya operasional terhadap pendapatan oprasional pada tahun 1996 sebesar 80,45 % dan pada tahun 2000 sebesar 84,21 %. Ada kecenderungan biaya operasional peningkatannya lebih besar dibandingkan pendapatan operasional. Semakin besar peningkatan rasio BOPO berarti semakin kurang efisien. Agar dapat dikatagorikan sehat maka nilai rasio BOPO maksimum 93,52 % (lampiran 20), oleh sebab itu rasio BOPO BPR BKK Kunduran selama 5 tahun terakhir termasuk dalam katagori sehat.

Kemampuan bank dalam menghasilkan profitabilitas secara kuantitatif dapat juga dinilai dengan return on equity (ROE) yaitu perbandingan antara jumlah keuntungan bersih (net income) dengan jumlah modal yaitu modal inti dan modal pelengkap (Muljono, 1996:433). Perhitungan rasio ROE dan laju inflasi Kabupaten Blora tersaji dalam tabel 3.17 berikut :



Nilai rasio ROE dari tahun 1996 sampai tahun 2000 cenderung menurun, pada tahun 1996 sebesar 26,58% menjadi 15,29% pada tahun 2000, rata-rata penurunannya adalah 9,76 %. Rata-rata ROE selama lima tahun adalah 18,34 % dan rata-rata inflasi sebesar 14,85 %, sehingga ROE yang diperoleh BPR BKK Kunduran di atas rata-rata inflasi, namun nilai riil dari ROE tersebut hanya 3,49%, dan ini cukup membahayakan pada tahun-tahun mendatang karena ada kecenderungan nilai ROE akan semakin menurun sedangkan inflasi semakin meningkat.

3.2.1.5 Penilaian dan perkembangan faktor likuiditas. Penilaian terhadap faktor likuiditas didasarkan pada 2 (dua) rasio yaitu : 1) Rasio alat likuid terhadap hutang lancar sering disebut cash ratio (CR). Alat likuid meliputi kas dan penanaman dana pada bank lain dalam bentuk giro dan tabungan dikurangi dengan tabungan bank lain pada bank. Hutang lancar meliputi kewajiban segera, tabungan dan deposito, 2) Rasio kredit terhadap dana yang diterima oleh bank, sering disebut Loan to Deposit Ratio (LDR). Yang dimaksud dengan kredit adalah meliputi : a) kredit yang diberikan kepada masyarakat dikurangi dengan kredit sindikasi yang dibiayai bank lain; b) penanaman kepada bank lain dalam bentuk kredit yang diberikan dengan jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan; c) penanaman kepada bank lain dalam bentuk kredit dalam rangka kredit sindikasi, sedangkan yang termasuk dalam dana yang diterima meliputi : a) deposito dan tabungan masyarakat; b) pinjaman bukan dari bank lain dengan jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan (diluar pinjaman subordinasi); c) deposito dan pinjaman dari bank lain dengan jangka waktu lebih dari 3 bulan; d) modal inti; dan e) modal pinjaman. Perhitungan rasio alat likuid terhadap hutang lancar ( Cash Ratio) dan perhitungan nilai kredit dari rasio tersebut tersaji dalam tabel 3.18 berikut.

Dari tahun 1996 sampai tahun 2000, nilai rasio alat likuid terhadap hutang lancar diatas 4,05 %, sangat berfluktuasi dan ada kecendrungan menurun. Pada tahun 1996 mencapai 11,05 % dan tahun 2000 menjadi 6,44%, karena nilai rasio tiap tahunnya masih di atas 4,05% maka dapat dikatagorikan dalam predikat sehat, untuk dapat dikatagorikan sehat minimum nilai rasionya mencapai 4,05% (lampiran 21). Sementara itu perhitungan rasio kredit terhadap dana yang diterima oleh bank (LDR) serta perhitungan nilai kredit terhadap rasio tersebut, tersaji pada tabel 3.19 sebagai berikut :

Nilai LDR dari tahun 1996 sampai tahun 2000 cenderung meningkat, pada tahun 1996 sebesar 92,39% dan tahun 2000 menjadi 100,93 %. Rasio yang mendapatkan nilai kredit di atas 81 terjadi pada tahun 1996,1997 dan 1998, sedangkan lainnya di bawah 81. Nilai LDR pada tahun 1996,1997 dan 1998 tergolong sehat, karena untuk dapat dikatagoikan sehat nilai LDR maksimum sebesar 94,75 % (lampiran 22). Ciri dari rasio ini adalah semakin besar LDR semakin tidak baik, karena semakin besar dana yang disalurkan dalam bentuk kredit sehingga tidak setiap saat dapat ditarik kembali.

3.2.1.6 Penilaian terhadap pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit. Pelaksanaan ketentuan yang sanksinya dikaitkan dengan penilaian tingkat kesehatan bank, meliputi pelanggaran terhadap ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Dihitung berdasarkan jumlah kumulatif pelanggaran BMPK kepada debitur individual, debitur kelompok dan pihak terkait dengan bank, terhadap modal bank. Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/61/KEP/DIR tanggal 9 juli 1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat, disebutkan bahwa BMPK bagi satu peminjam atau satu kelompok peminjam yang tidak terkait dengan bank adalah sebesar 20 % dari modal bank, sedangkan BMPK bagi pihak-pihak yang terkait dengan bank, baik secara individual maupun secara keseluruhan setingi-tingginya sebesar 10 % dari modal bank.

BPR BKK Kunduran dari tahun 1996 sampai tahun 2000 (lampiran 14) selalu memberikan fasilitas kredit kepada karyawannya dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pengembaliannya dipotong dari gaji bulanan karyawan tersebut. Pada tahun 1996 plafond kredit untuk karyawan sebesar Rp. 52.900.000,- dengan baki debet sebesar Rp. 47.466.000,- Pada tahun 2000 plafonnya menjadi Rp. 387.000.000,- dengan baki debet Rp. 338.731.000,- Dilihat dari besarnya modal BPR BKK Kunduran pada tahun 2000 adalah Rp. 703.320.000,- berarti kredit karyawan yang diberikan sebesar 48,16 % dari modal atau di atas 10% modal BPR BKK Kunduran. Sesuai Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/61/KEP/DIR di atas pada pasal 8 disebutkan bahwa salah satu fasilitas kredit yang tidak terkena BMPK adalah fasilitas kredit kepada anggota direksi, komisaris dan pegawai bank yang diberikan dalam rangka peningkatan kesejahteraan serta dibayar kembali dari pendapatan yang diperoleh dari bank bersangkutan, sehingga fasilitas kredit yang diberikan oleh BPR BKK Kunduran kepada karyawannya tidak termasuk dalam pelanggaran BMPK walaupun kredit itu diberikan kepada pihak yang terkait dengan bank dan tidak mengurangi nilai kredit dalam penilaian tingkat kesehatan bank.

Berdasarkan penilain dari faktor-faktor permodalan, kulitas aktiva produktif , manajemen, rentabilitas, likuiditas dan BMPK, dapat diketahui rekapitulasi hasil penilaian tingkat kesehatan bank BPR BKK Kunduran sebagaimana tabel 3.20 berikut :


3.2.2. Analisis dan Perkembangan Pangsa Pasar (market share)
Analisis pangsa pasar dilakukan untuk mengetahui sejauhmana penguasaan pangsa pasar BPR BKK Kunduran terhadap perbankan yang ada di Kabupaten Blora dan perbankan se Propinsi Jawa Tengah. Analisis Pangsa pasar ( Market share ) dilihat dari variabel kredit, dana yang dapat dihimpun dan total aktiva. Adapun jumlah kredit, dana yang dapat dihimpun dari masyarakat serta total aktiva BPR BKK Kunduran, Perbankan di Kabupaten Blora dan Perbankan se Propinsi Jawa Tengah terlihat dalam tabel 3.21 berikut:


3.2.2.1 Pangsa pasar terhadap perbankan di Kabupaten Blora. Analisis pangsa pasar terhadap perbankan di Kabupaten Blora dilakukan dengan membandingkan total aktiva, dana yang dapat dihimpun dari masyarakat dan kredit yang diberikan kepada masyarakat oleh BPR BKK Kunduran terhadap perbankan yang ada di kabupaten Blora. Berdasarkan tabel 3.20, dapat dihitung pangsa pasar terhadap perbankan di Kabupaten Blora sebagaimana tersaji pada tabel 3.22 berikut :

Pangsa pasar kredit (Market share kredit atau MSK) menunjukkan kecenderungan meningkat, pada tahun 1996 sebesar 2,06 % menjadi 2,16 % pada tahun 2000. Penurunan terjadi pada tahun 1997 dan tahun 1998, yaitu menjadi 1,89% dan 1,65%, sedangkan pangsa pasar penghimpunan dana (Market share Penghimpunan Dana atau MSPD) dan pangsa pasar total aktiva (maket share total aktiva atau MSTA) cenderung menurun. Pada tahun 1996 MSPD sebesar 1,80 % dan menjadi 1,15% pada tahun 2000, MSTA sebesar 1,98 % menjadi 1,39%.

3.2.2.2 Pangsa pasar terhadap perbankan di Propinsi Jawa Tengah. Analisis pangsa pasar ini membandingkan total aktiva, dana yang dapat dihimpun dari masyarakat dan kredit yang diberikan kepada masyarakat oleh BPR BKK Kunduran terhadap perbankan yang ada di Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan tabel 3.21, dapat dihitung pangsa pasar terhadap perbankan di Propinsi Jawa Tengah sebagaimana tersaji pada tabel 3.23 berikut :

Pangsa pasar kredit (Market share kredit atau MSK) menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun 1996 sebesar 0,020 % pada tahun 1996 menjadi 0,032 % pada tahun 2000. Pangsa pasar penghimpunan dana (Market share penghimpunan dana atau MSPD) dan pangsa pasar total aktiva (market share total aktiva atau MSTA) sebaliknya cenderung menurun, MSPD pada tahun 1996 sebesar 0,016% dan menjadi 0,010 % pada tahun 2000, sedangkan MSTA dari 0,015% menjadi 0,012%.

3.2.3 Analisis Intermediasi Dana
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan fungsi intermediasi dana BPR BKK Kunduran dibandingkan dengan kemampuan perbankan yang ada di Kabupaten Blora dan perbankan se Propinsi Jawa Tengah. Tingkat intermediasi dana tersebut dapat diketahui dengan menghitung nisbah antara total kredit dengan total dana yang dihimpun atau sering disebut dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) atau Banking Ratio. Berdasarkan tabel 3.21, dapat dihitung intermediasi dana BPR BKK Kunduran, perbankan di Kabupaten Blora dan perbankan se Propinsi Jawa Tengah sebagaimana tersaji pada tabel 3.24 berikut :

Hampir semua perbankan, baik BKK Kunduran, perbankan di Kabupaten Blora dan perbankan se Propinsi Jawa Tengah memiliki nilai nisbah antara kredit dengan penghimpunan dana (LDR) semakin menurun dari tahun 1996 sampai tahun 2000. LDR BPR BKK Kunduran pada tahun 1996 sebesar 134,45 % dan pada tahun 2000 turun menjadi 121,17 %., perbankan di Kabupaten dari 117,73 % menjadi 64,53%, demikian pula dengan perbankan di Jawa Tengah dari 106,13 % menjadi 38,53%. Rata-rata LDR BPR BKK Kunduran adalah 117,30 %, berarti di atas rata-rata LDR perbankan yang ada di Kabupaten Blora yaitu 83,51% dan di atas rata-rata LDR perbankan yang ada di Propinsi Jawa Tengah yang hanya sebesar 69,99%. Menunjukkan bahwa BPR BKK Kunduran lebih baik dalam mengitermediasi dana masyarakat ke dalam bentuk kredit dibandingkan perbankan yang ada di Kabupaten Blora dan perbankan se Jawa Tengah. Perhitungan share dana yang dihimpun, kredit yang disalurkan dan total aktiva BPR BKK Kunduran terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Blora, terlihat pada tabel berikut :

Proporsi atau share Kredit yang disalurkan oleh BPR BKK Kunduran terhadap PDRB Kabupaten Blora pada tahun 1996 sebesar 0,347% dan semakin meningkat menjadi 0,552% pada tahun 2000, kecuali pada tahun 1998 mengalami penurunan sebesar 0,072 %. Rata-rata share kredit terhadap PDRB adalah 0,424 %. Share penghimpunan dana juga mengalami peningkatan dari 0,258 % pada tahun 1996 menjadi 0,456 % pada tahun 2000, dengan rata-rata share sebesar 0,364 %, demikian pula share total aktiva terhadap PDRB meningkat dari 0,390% pada tahun 1996 menjadi 0,624 % pada tahun 2000, rata-rata share-nya adalah 0,520% Proporsi atau share kredit yang disalurkan oleh perbankan di Kabupaten Blora terhadap PDRB adalah sebesar 16,844 % pada tahun 1996 dan meningkat menjadi 25,546% pada tahun 2000, atau rata-rata sebesar 21,412%. Share penghimpunan dana terhadap PDRB juga meningkat dari 14,307 % pada tahun 1996 menjadi 39,588 % pada tahun 2000, rata-rata share ini adalah 28,681 %. Share total aktiva terhadap PDRB meningkat dari 19,683% pada tahun 1996 menjadi 44,896% pada tahun 2000, dengan rata-rata share sebesar 32,866%.

3.3 Pembahasan Hasil Penelitian
3.3.1 Pembahasan Tingkat Kesehatan Bank
Berdasarkan hasil analisis di atas terbukti bahwa sejak tahun 1996 sampai tahun 2000 predikat BPR BKK Kunduran adalah sehat, karena nilai kredit gabungan pertahunnya di atas 81. Pada tahun 1996 nilai kreditnya sebesar 95 menjadi 87 pada tahun 2000 dan ada kecenderungan menurun pada tahun-tahun berikutnya. Penurunan nilai kredit ini sangat dipengaruhi oleh beberapa komponen kualitas aktiva produktif (KAP), manajemen dan likuiditas, yaitu: a) penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) terlalu kecil, terutama pada tahun 1998 sampai tahun 2000, b) faktor manajemen, baik manajemen umum dan manajemen risiko dan c) masih tingginya rasio kredit terhadap dana masyarakat yang dihimpun, terutama pada tahun 1999 dan tahun 2000 nilai kreditnya masih dibawah 81.

3.3.1.1 Pembahasan faktor permodalan. Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (KPMM) BPR BKK Kunduran dari tahun 1996 sampai tahun 2000 tergolong dalam predikat sehat, karena rasio KPMM setiap tahunnya selalu diatas 8 % dari ATMR yaitu nilai batas minimal yang ditentukan oleh Bank Indonesia untuk dapat tergolong sehat. Meskipun demikian ada tendensi rasio ini menurun, pada tahun 1996 sebesar 21,23 % menjadi 16,48 % di tahun 2000. Penurunan ini disebabkan karena peningkatan rata-rata Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) lebih besar (13,8 %) dibandingkan rata-rata peningkatan Modal (6,23%). Peningkatan ATMR tersebut sangat dipengaruhi oleh a) meningkatnya pos antar bank aktiva, yaitu berupa tabungan dan deposito pada bank lain dari Rp. 158.573.000,- pada tahun 1996 dan menjadi Rp.222.784.000,- pada tahun 2000, b) peningkatan kredit yang diberikan, Rp. 2.439.208.000 pada tahun 1996 menjadi Rp. 3.926.352.000 pada tahun 2000. c) peningkatan inventaris dari Rp. 168.737.000,- pada tahun 1996 menjadi Rp. 340.061.000,- pada tahun 2000. Sementara peningkatan modal, dominan dipengaruhi oleh modal inti padahal modal inti ini kenaikannya tidak terlalu besar, seperti: a) cadangan umum pada tahun 1996 sebesar Rp. 93.627.000 dan tahun 2000 menjadi Rp 159.544.000,- b) cadangan tujuan pada tahun 1996 sebesar Rp 87.320.000 dan pada tahun 2000 sebesar Rp 114.005.000,- Selama tahun 1996 sampai tahun 1999 pemilik tidak pernah menambah setoran modal, kecuali pada tahun 2000 sebesar Rp. 32.968.000 oleh Pemerintah Propinsi Jawa Tengah ( pemegang saham 50 %) dan Rp. 20.000.000,- oleh Pemerintah Kabupaten Blora (pemegang saham 35%), sedangkan PT BPD Jawa Tengah sebagai pemegang saham 15 %, selama periode penelitian di atas belum menambah setoran modal (lampiran 25). Total modal yang disetor oleh pemilik sampai tahun 2000 menjadi Rp. 322.383.000,- atau baru mencapai 64,48 % dari modal dasar. Sesuai Peraturan Daerah Propinsi Tingkat I Jawa Tengah No. 4 Tahun 1995 tanggal 18 April 1995 tentang Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat – Badan Kredit Kecamatan di Propinsi Jawa Tengah, modal dasar yang ditetapkan untuk BPR BKK Kunduran adalah Rp. 500.000.000,- sehingga masih ada kekurangan modal yang disetor oleh pemilik Rp. 177.617.000,- Apabila setoran modal dapat ditambah sebesar modal dasar sesuai Peraturan Daerah tersebut, akan dapat berdampak terhadap perkembangan BPR BKK Kunduran, karena : a) BPR BKK Kunduran mendapatkan tambahan dana segar (fresh money) dari pemilik, hal ini akan menguntungkan bagi BPR BKK Kunduran dan masyarakat karena bunga kredit akan lebih murah dibandingkan dengan menggunakan dana dari pihak ketiga. Berdasarkan rasio LDR terlihat bahwa selama tahun 1996 sampai tahun 2000 terlihat bahwa semua dana pihak ketiga disalurkan kedalam bentuk kredit, sehingga rata-rata bunga kredit selama ini cukup mahal yaitu diatas 3 % perbulan b) modal inti akan bertambah, sehingga dapat menyeimbangkan LDR menuju rasio yang sehat, c) bertambahnya setoran modal akan memberikan keleluasaan bagi manajemen BPR BKK Kunduran untuk meningkatkan plafond Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) bagi pihak yang tidak terkait maupun yang terkait dengan bank, d) dengan tambahan modal menjadi Rp 500.000.000,- BPR BKK Kunduran dimungkinkan untuk membuka pos pelayanan atau kantor kas di luar wilayah Kecamatan Kunduran dan diijinkan untuk mememindahkan kantor pusatnya ke Kota Blora, sesuai pasal 32 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/35/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat
3.3.1.2 Pembahasan faktor kualitas aktiva produktif. Rasio Aktiva Produktif Yang Diklasifikasikan (APYD) terhadap Aktiva Produktif (AP) dari tahun 1996 sampai tahun 2000, dapat dikatagorikan kedalam predikat sehat, karena nilainya dibawah 10,35 %. Ada kecendrungan rasio ini semakin meningkat, peningkatan ini disebabkan karena berkurangnya kredit lancar dan bertambahnya kredit bermasalah (kredit kurang lancar, diragukan dan macet). Pada tahun 1996 kredit lancar sebesar 95,35 %, kredit kurang lancar sebesar 2,08 %, kredit diragukan 2,06 % dan kredit macet sebesar 0,51% dari total kredit Rp 2.439.208.000,- sedangkan pada tahun 2000 terjadi penurunan kredit lancar mencadi 85,79 % dan bertambahnya kredit kurang lancar menjadi 6,30 %, bertambahnya kredit diragukan menjadi 3,50 % dan bertambahnya kredit macet menjadi 4,41 % dari total kredit pada tahun itu sebesar Rp. 3.926.312.000,- Sebagai upaya untuk memperkecil kemungkinan bertambahnya kredit bermasalah, terutama bagi kredit yang digolongkan diragukan atau macet, agar diusahakan pembenahan kredit sesuai perjanjian yang dicantumkan dalam akad kredit. Penanganan kredit dapat dilakukan dengan penjadwalan kembali, persyaratan kembali atau penataan kembali, sedangkan untuk pemberian kredit baru diupayakan lebih bersifat hati-hati.

Rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang dibentuk oleh Bank (PPAP) terhadap Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang wajib dibentuk oleh Bank (PPAPWD) dari tahun 1996 sampai tahun 2000 menunjukkan kecendrungan semakin menurun, pada tahun 1996 nilainya adalah 185,35 % kemudian pada tahun 2000 menjadi 65,98 %. Penurunan rasio ini membawa pengaruh terhadap penurunan nilai kreditnya, sehingga predikatnya bervariasi dari sehat, cukup sehat sampai kurang sehat. Menurunnya rasio ini disebabkan karena cadangkan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang dibentuk sangat kecil dibandingkan peningkatan kualitas aktiva produktifnya serta peningkatan kredit bermasalah baik itu dalam katagori kredit kurang lancar, diragukan atau macet. Semakin banyak kredit bermasalah maka semakin besar pula PPAP yang harus dibentuk. Bila dilihat PPAP tahun 2000 sebesar Rp. 108.598.0000,- sedangkan PPAPWDnya Rp. 164.581.000,- atau proporsinya 65,98 %, berarti masih jauh dibawah 81 %. Pada tahun-tahun mendatang mendatang BPR BKK Kunduran harus mencadangkan PPAP lebih tinggi dari yang telah dicadangkan sebelumnya sampai mencapai rasio minimal 81%, hal ini dimaksudkan agar bank memiliki cadangan yang cukup untuk menutup kerugian yang mungkin timbul akibat kredit yang ditanamkan tidak dapat ditarik kembali.

3.3.1.3 Pembahasan faktor manajemen. Secara umum penilaian terhadap faktor manajemen menunjukkan hasil dengan nilai kredit termasuk dalam katagori cukup sehat karena nilai kreditnya dibawah 81. Ada beberapa hal yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan nilai kreditnya, yaitu :

1. Rencana kerja tahunan dibuat secara cermat untuk dipakai sebagai acuan kegiatan usaha dan tanpa perlu melakukan revisi ditengah jalan.
2. Pencatatan transaksi agar dilakukan secara akurat dan laporan keuangan disusun sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.
3. Meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan bawahan.
4. Direksi lebih berperan dalam pengambilan keputusan operasional.
5. Meningkatkan pemantauan dan pencatatan kredit yang jatuh tempo untuk mencegah kemungkinan timbulnya kesulitan likuiditas.
6. Meningkatkan cadangan pembentukan penyisihan piutang berdasarkan prinsip kehati-hatian.
7. Mengurangi campur tangan pemilik terhadap kegiatan operasional bank.
8. Meningkatkan peran dewan pengawas dalam melaksanakan pengawasan terhadap operasional bank.

3.3.1.4 Pembahasan faktor rentabilitas. Rasio laba sebelum pajak dalam 12 bulan terakhir terhadap rata-rata volume usaha dalam periode yang sama (ROA), selama tahun 1996 sampai tahun 2000 menunjukkan kecendrungan menurun, namun demikian masih dalam katagori sehat karena nilai rasio ini diatas 1,215 %. Kondisi seperti ini sangat dipengaruh oleh kemapuan BPR BKK Kunduran dalam memperoleh laba sebelum pajak, tahun 1996 mencapai Rp. 148.082.000,- sedangkan tahun 2000 turun menjadi Rp. 141.168.000,- Berdasarkan rasio ROE juga menunjukkan kecenderungan menurun, pada tahun 1996 sebesar 26,58% menjadi 15,29% pada tahun 2000, rata-rata penurunannya adalah 9,76 %, sehingga mencerminkan kemampuan BPR BKK Kunduran dalam menghasilkan laba dari modal yang ditanam semakin menurun. Rata-rata ROE selama lima tahun adalah 18,34 % dan rata-rata inflasi sebesar 14,85 %, berarti ROE yang diperoleh BPR BKK Kunduran di atas rata-rata inflasi, namun nilai riil dari ROE tersebut hanya 3,49%, dan ini cukup membahayakan pada tahun-tahun mendatang karena ada kecenderungan nilai ROE akan semakin menurun sedangkan inflasi semakin meningkat.

Rasio biaya operasi dalam 12 bulan terakhir terhadap pendapatan operasional dalam periode yang sama ( BOPO) dari tahun 1996 sampai ahun 2000 cendrung meningkat dan tergolong dalam katagori sehat, karena nilainya dibawah 93,52 %. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi rasio ini adalah pendapatan operasional berupa pendapatan kredit, dimana pada tahun 1996 sebesar Rp. 686.000.000,- menjadi Rp. 1.102.210.000,- pada tahun 2000 dan pos beban operasional, didominasi oleh biaya bunga yaitu dari Rp. 294.903.000,- pada tahun 1996 menjadi Rp. 487.802.000,- pada tahun 2000, kemudian disusul oleh pos biaya tenaga kerja serta barang dan jasa dari Rp. 239.642.000,- menjadi Rp. 454.119.000,- Proporsi biaya ini mencapai 40,48% dari beban operasionalnya, sehingga diharapkan dapat ditekan guna dapat meningkatkan rentabilitas.

Rentabilitas merupakan harapan bagi pengelola bank maupun pemegang saham, selama ini BPR BKK Kunduran telah memberikan kontribusi kepada pemegang saham baik Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, Pemerintah Kabupaten Blora dan PT. BPD Jateng sebagai pemegang saham. Sampai tahun 2000, BPR BKK Kunduran telah memberikan setoran bagian laba kepada pemegang saham sebesar Rp. 301.938.000,- yang dialokasikan untuk Pemerintah Propinsi Jawa Tengah sebesar Rp. 156.836.000,- Pemerintah Kabupaten Blora Rp. 104.953.000,- dan PT BPD Jawa Tengah sebesar Rp. 40.149.000,- (lampiran 26)

3.3.1.5 Pembahasan faktor likuiditas. Dari tahun 1996 sampai tahun 2000 nilai Cash Ratio (CR) tergolong sehat, karena nilainya berada diatas 4,05 %. Semakin tinggi CR menujukkan semakin tidak efisien dalam mengelola dana, oleh sebab itu CR sebesar 17,20 % pada tahun 1999 agar tidak terulang kembali, dimana saldo kas pada saat itu mencapai Rp 101.095.00,- Kelebihan kas seperti ini seharusnya dapat disalurkan dalam bentuk kredit atau ditabung di Bank lain. Semuanya ini dilakukan untuk menekan biaya dana dengan tetap mengupayakan pendapatan.

Selama tahun 1996 sampai 1998 Loan to Deposit Ratio (LDR) menunjukkan nilai di bawah 94,75 %, berarti termasuk dalam katagori sehat, sedangkan pada tahun 1999 dan tahun 2000 tergolong tidak sehat dan kurang sehat, karena pada tahun 1999 dan tahun 2000 kredit yang diberikan oleh BPR BKK Kunduran jauh lebih besar dari pada dana yang dihimpunnya. Dilihat dari sisi likuiditas hal ini tidak baik karena semakin besar dana yang disalurkan dalam bentuk kredit tidak setiap saat dapat ditarik kembali, sehingga semakin besar kemungkinan terjadi risiko likuiditas. Pengelolaan dana yang disalurkan dalam bentuk pinjaman harus dilakukan secara sehat dengan memenuhi rambu LDR, artinya jangan sampai kredit diberikan terlampau besar atau terlalu kecil dari dana pihak ketiga.

3.3.1.6 Pembahasan terhadap pelanggaran batas maksimum pemberian kredit. Selama tahun 1996 sampai tahun 2000, tidak ada pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) baik kepada debitur individual, debitur kelompok dan pihak terkait dengan bank, namun demikian perlu dihindari terjadinya pelanggaran BMPK dimasa yang akan datang, terutama dalam penempatan dana berupa deposito maupun tabungan kepada pihak yang terkait dengan bank melebihi 10 % dari modal BPR BKK Kunduran, baik itu ke PT BPD Jawa Tengah sebagai pemilik saham atau ke BPR BKK lainnya dimana pemilik sahamnya sama dengan BPR BKK Kunduran maupun ke BPR Kabupaten Blora.

3.3.2 Pembahasan Pangsa Pasar (Market Share)
Penguasaan pangsa pasar (market share) BPR BKK Kunduran terhadap perbankan yang ada di Kabupaten Blora dan perbankan se Propinsi Jawa Tengah, dilihat dari 3 variabel yaitu : kredit, dana yang dapat dihimpun dan total aktiva. Berdasarkan hasil analisis dari tahun 1996 sampai tahun 2000 tidak terbukti bahwa pangsa pasar BPR BKK Kunduran meningkat setiap tahunnya untuk semua variabel tersebut.

Jumlah bank yang ada di Kabupaten Blora sampai akhir tahun 2000 terdiri dari 4 Kantor Cabang Bank Umum dengan 8 Kantor Cabang Pembantu dan 2 Kantor Kas, sedangkan untuk BPR terdiri dari 19 Kantor. Jumlah bank yang ada di Propinsi Jawa Tengah adalah 40 Bank umum dengan 1.552 kantor dan 587 BPR dengan 598 kantor.

Pangsa pasar BPR BKK Kunduran terhadap perbankan yang ada di Kabupaten Blora dari tahun 1996 sampai tahun 2000 relatif kecil untuk semua variabel yang diteliti. Dilihat dari jumlah kredit yang disalurkan kepada masyarakat, nilai pangsa pasar ( Market Share Kredit atau MSK) BPR BKK Kunduran semakin meningkat, pada tahun 1996 sebesar 2,06% menjadi 2,16% pada tahun 2000, ini menunjukkan bahwa BPR BKK Kunduran mampu bersaing tehadap perbankan di Kabupaten Blora. Peningkatan MSK ini tidak diikuti dengan peningkatan pangsa pasar penghimpunan dana (Market share penghimpunan dana atau MSPD) dan pangsa pasar total aktiva (market share total aktiva atau MSTA), pada tahun 1996 MSPD sebesar 1,80 % dan MSTA 1,98%, kemudian tahun 2000 MSPD turun menjadi 1,15% dan MSTA menjadi 1,39%. Berdasarkan MSPD dan MSTA maka BPR BKK Kunduran kalah bersaing terhadap perbankan yang ada di Kabupaten Blora. Demikian pula halnya dengan pangsa pasar BPR BKK Kunduran terhadap perbankan se Propinsi Jawa Tengah juga relatif kecil untuk semua variabel. Dilihat dari jumlah kredit yang diberikan kepada masyarakat nilai MSK meningkat dari tahun 1996 yaitu 0,020% menjadi 0,032% pada tahun 2000, berarti dari sisi kredit BPR BKK Kunduran mampu bersaing dengan perbankan lainnya di Jawa Tengah. Sementara bila dilihat dari pangsa pasar penghimpunan dana dan pangsa pasar total aktiva mengalami penurunan, pada tahun 1996 MSPD sebesar 0,016% dan MSTA 0,015%, pada tahun 2000 MSPD turun menjadi 0,010% dan MSTA menjadi 0,012%, berarti bahwa dari sisi pengumpulan dana dan total aktiva BPR BKK Kunduran masih kalah bersaing dengan perbankan lainnya di Jawa Tengah.

Peningkatan MSK BPR BKK Kunduran terhadap perbankan lain, baik di Kabupaten Blora maupun di Jawa Tengah disebabkan karena selama ini BPR BKK Kunduran lebih banyak memberikan kredit untuk sektor pertanian dan perdagangan, guna mendukung modal kerja sektor tersebut. Pada tahun 1999 jumlah kredit sektor pertanian mencapai Rp. 2.575.037.000,- (74,26 %) dan pada tahun 2000 mencapai Rp. 2.258.475.000,- (57,52 %), sedangkan untuk sektor perdagangan pada tahun 1999 mencapai Rp. 361.946.000,- ( 10,44 %) dan pada tahun 2000 sebesar Rp. 605.774.000,- (15,43 %).

Penurunan MSPD dan MSTA baik terhadap perbankan di Kabupaten Blora maupun perbankan se Jawa Tengah sangat terkait dengan keterbatasan operasional BPR BKK Kunduran, selama ini wilayah operasional BPR BKK Kunduran hanya di Kecamatan Kunduran dengan didukung 30 pos pelayanan, apabila diijinkan oleh Badan Pembina BKK Kabupaten Blora untuk membuka pos pelayanan di kota atau wilayah kecamatan lain dalam wilayah Kabupaten Blora diharapkan pangsa pasar kredit, penghimpunan dana dan total aktiva akan dapat meningkat. Disamping itu penurunan pangsa pasar penghimpunan dana dan pangsa pasar total aktiva juga sangat dipengaruhi oleh beroperasinya BPR-BPR baru seperti PD BPR Kabupaten Blora yang telah membuka 2 pos pelayanan dan beroperasinya BPR-BPR Swasta lain ke wilayah kecamatan Kunduran.

3.3.3. Pembahasan Intermediasi Dana
Tingkat intermediasi dana BPR BKK Kunduran dapat dihitung dengan membandingkan total kredit dengan total dana yang dihimpun, dalam hal ini juga disebut LDR atau Banking Ratio. Berdasarkan analisis di depan ternyata rata-rata LDR BPR BKK Kunduran lebih besar dari pada LDR Perbankan di Kabupaten Blora dan Perbankan di Jawa Tengah. Perbandingan antara Kredit yang diberikan terhadap penghimpunan dana bagi BPR BKK Kunduran pada tahun 1996 sebesar 134,45 % dan pada tahun 2000 sebesar 121,17 % dengan rata-rata 117,30 %.

LDR perbankan di Kabupaten Blora pada tahun 1996 sebesar 117,73 % dan tahun 2000 turun mejadi 64,53 % dengan rata-rata 83,51 %, sedangkan untuk perbankan di Jawa Tengah pada tahun 1996 sebesar 106,13 % dan tahun 2000 turun menjadi 38,53 %. Ini berarti bahwa pada tahun 1996 dan 1997 (karena LDR diatas 100%) baik BPR BKK Kunduran, Perbankan di Kabupaten Blora dan Perbankan di Jawa Tengah mampu mengintermediasi dana masyarakat untuk disalurkan dalam bentuk kredit kepada masyarakat, namun bila dilihat secara rata-rata selama 5 tahun terlihat hanya BPR BKK Kunduran yang mampu melaksanakan fungsi intermediasi dana secara baik, karena semua dana masyarakat dapat disalurkan dalam bentuk kredit, yaitu rata-rata penghimpunan dana sebesar Rp. 2.557.000.000 dan kredit yang disalurkan rata-rata Rp. 2.983.000.000,- Besarnya penyaluran kredit tersebut tidak diikuti dengan kemampuan yang cukup oleh BPR BKK Kunduran dalam menggali dana dari masyarakat, hal ini terlihat dari defisit penghimpunan dana sebesar Rp. 625.000.000,- pada tahun 1996 dan Rp. 686.000.000,- pada tahun 2000, artinya bahwa BPR BKK Kunduran kekurangan dana untuk membiaya kredit yang diberikan kepada masyarakat.

Kurangnya kemampuan BPR BKK Kunduran dalam menghimpun dana disebabkan oleh tingkat bunga deposito dan tabungan yang ditawarkan relatif masih rendah. Pada tahun 1998 rata-rata bunga tabungan BPR BKK Kunduran sebesar 19 %, tahun 1999 sebesar 13 % dan tahun 2000 sebesar 12%, dan rata-rata bunga deposito pada tahun 1998 sebesar 37%, tahun 1999 sebesar 15 % dan tahun 2000 sebesar 15 %, sedangkan rata-rata bunga tabungan dan deposito yang ditawarkan bank lain pada tahun yang sama lebih tinggi 2-5% pertahun. Semakin gencar promosi yang dilakukan BRI unit Kunduran dalam menjaring nasabah juga cukup berpengaruh terhadap penurunan kemampuan penghimpunan dana masyarakat serta beroperasinya bank-bank lain ke Kunduran, seperti BPR Duta Bhakti Insani yang berkantor di Kecamatan Cepu mengembangkan usahanya sampai ke Kecamatan Kunduran, membuat persaingan semakin ketat. Sementara itu BPR BKK Kunduran belum diijinkan oleh Badan Pembinan BKK untuk membuka pos-pos pelayanan di luar wilayah Kecamatan Kunduran sehingga ruang lingkup operasinya terbatas.

Share kredit yang diberikan oleh BPR BKK Kunduran terhadap PDRB, selama tahun 1996 sampai tahun 2000 rata-rata sebesar 0,424 % sedangkan bagi perbankan di Kabupaten Blora rata-rata 21,412 %, Ini berarti bahwa peranan kredit BPR BKK Kunduran rata-rata 0,424 % terhadap PBRB dan kredit perbankan yang ada di Kabupaten Blora sebesar 21,412 %. Sedangkan bila dilihat dari pertumbuhan terhadap share kredit, ternyata rata-rata pertumbuhan kredit BPR BKK Kunduran (0,138 %) lebih besar dari pada rata-rata pertumbuhan kredit yang diberikan oleh perbankan di Kabupaten Blora (0,111%), ini menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit BPR BKK Kunduran memberikan share lebih besar terhadap PDRB Kabupaten Blora dibandingkan perbankan yang ada di Kabupaten Blora.

Share penghimpunan dana dari masyarakat yang berhasil dihimpun oleh BPR BKK Kunduran terhadap PDRB Kabupaten Blora, rata-rata pertahun sebesar 0,364 %, sedangkan bagi perbankan di Kabupaten Blora rata-rata 28,681 %. Berarti bahwa dana masyarakat yang mampu dihimpun BPR BKK Kunduran rata-rata peranannya 0,364 % terhadap PBRB dan dana yang dihimpun oleh perbankan yang ada di Kabupaten Blora peranannya 28,681 %. Bila dilihat dari pertumbuhan share pendanaan, rata-rata pertumbuhan share pendanaan BPR BKK Kunduran (0,155 %) lebih kecil dibandingan dengan pada rata-rata pertumbuhan share pendanaan perbankan di Kabupaten Blora (0,323%), berarti peranan sumber dana BPR BKK Kunduran terhadap PDRB Kabupaten Blora masih rendah dibandingkan perbankan yang ada di Kabupaten Blora. Demikian pula halnya bila dilihat dari share total aktiva BPR BKK Kunduran terhadap PDRB Kabupaten Blora, rata-rata total aktiva pertahun adalah 0,520 %, sedangkan perbankan di Kabupaten Blora rata-rata 32,866 %. Ini berarti bahwa total aktiva BPR BKK Kunduran peranannya rata-rata 0,520 % terhadap PBRB dan total aktiva perbankan yang ada di Kabupaten Blora peranannya 32,866 %. Dilihat dari pertumbuhan share total aktiva, ternyata rata-rata pertumbuhan total aktiva BPR BKK Kunduran (0,126%) lebih kecil dari rata-rata pertumbuhan total aktiva perbankan di Kabupaten Blora (0,235%).