hyperactive detective attacks the person you mentioned briefly in chapter 2

At this juncture a cashier arrives, in hysterics.
At this juncture a confused lawyer arrives and starts to gossip.
At this juncture a hungover priest arrives and starts barking orders.
At this juncture a hyperactive detective attacks the person you mentioned briefly in chapter 2.
At this juncture a pirate arrives and turns on the lights.
At this juncture a secondary character arrives and offers his/her help.
At this juncture a tough-talking panhandler arrives and pulls a gun.
At this juncture, in walks a perky cartoonist.
At this juncture, in walks a tough-talking cartoonist.
At this point a bartender arrives and begins locking the doors.
At this point a effeminate cashier arrives, with weapons drawn.
At this point a hyperactive waitress arrives, with several children in tow.
At this point a muscular barbarian asks for the time.
At this point your antagonist arrives, waving a newspaper.
Just then a drunken panhandler arrives, at a run.
Just then a drunken social worker shoots your protagonist's spouse.
Just then a grumpy panhandler strikes up a conversation with your protagonist's spouse.
Just then a macho lawyer shoots your protagonist's mother.
Just then a pirate arrives and yells "FIRE!".
Just then a pirate starts shouting.
Just then a spacey social worker strikes up a conversation with your protagonist's spouse.
Just then a well-meaning ninja calls the FBI.
Just then your antagonist ransacks the building.
Just then your protagonist's spouse arrives and offers his/her help.
Just then, in walks a grumpy barbarian.
Just then, in walks a wisecracking vampire.
Meanwhile a reporter arrives, talking excitedly.
Meanwhile your protagonist's sidekick arrives, disguised.
Meanwhile your protagonist's sidekick arrives, from nowhere.
Meanwhile your protagonist's spouse arrives and asks for the time.
Only a tornado can save this story.
Only an elephant can save this story.
Suddenly a goodnatured bartender arrives and throws a tantrum.
Suddenly a lawyer yells "SURPRISE!".
Suddenly a psychiatrist pulls a gun.
Suddenly a secondary character arrives, carrying a backpack.
The scene changes, and a female impersonater arrives, in hysterics.
The scene changes, and a paranoid geezer arrives and whispers to a secondary character.
The scene changes, and a penniless zookeeper requests a favor from your protagonist's sidekick.
The scene changes, and a wizard serves dinner.
The scene changes, and, in walks a apathetic princess.
Without warning a innocent undertaker begins interrogating your antagonist.
Without warning a librarian arrives, bearing cookies.
Without warning a mysterious teacher arrives and attacks your protagonist's mother.
Without warning a priest arrives and starts barking orders.
Without warning a sailor offers his/her help.
Without warning a sketchy bartender reveals a secret about your protagonist's sidekick.
Without warning a spacey librarian arrives and ransacks the building.
Without warning a spacey police officer arrives and shoots your protagonist's spouse.
Without warning a unwashed ninja arrives and requests a favor from your protagonist's mother.
BACA SELENGKAPNYA - hyperactive detective attacks the person you mentioned briefly in chapter 2

Contoh Tesis Bab IV KINERJA KEUANGAN BPR BLORA

CONTOH BAB I
KINERJA KEUANGAN BANK PERKEREDITAN RAKYAT (BPR)
BKK KUNDURAN KABUPATEN BLORA

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN


4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada diskripsi hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1. Kinerja keuangan BPR BKK Kunduran dari tahun 1996 sampai tahun 2000 tergolong sehat dengan menggunakan kreteria penilaian tingkat kesehatan bank berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/12/KEP/DIR, walaupun secara gabungan tergolong sehat, namun masih banyak komponen dari faktor-faktor yang dinilai tidak termasuk dalam predikat sehat. Faktor-faktor tersebut adalah kualitas aktiva produktif, manajemen dan likuiditas, sedangkan komponennya terdiri : a) penyisihan penghapusan aktiva produktif yang dibentuk masih rendah, b) manajemen umum dan manajemen risiko belum dikelola secara baik dan c) masih tingginya rasio kredit terhadap dana masyarakat yang dihimpun.

Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (KPMM) BPR BKK Kunduran dari tahun 1996 sampai tahun 2000 tergolong dalam predikat sehat, namum masih terdapat kekurangan setoran modal oleh pemilik sebesar Rp. 177.617.000 untuk mencapai modal dasar Rp. 500.000.000,- sesuai Peraturan Daerah Propinsi Tingkat I Jawa Tengah No. 4 Tahun 1995 tanggal 18 April 1995 tentang Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat – Badan Kredit Kecamatan di Propinsi Jawa Tengah.

Kualitas Aktiva Produktif tergolong sehat dilihat dari rasio Aktiva Produktif Yang Diklasifikasikan (APYD) terhadap Aktiva Produktif (AP) karena nilainya dibawah 10,35%. Nilai rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang dibentuk oleh Bank (PPAP) terhadap Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang wajib dibentuk oleh Bank (PPAPWD) sangat bervariasi yaitu kurang sehat (1998 dan 2000), cukup sehat (1999), sehat (1996 dan 1997).

Secara umum penilaian terhadap faktor manajemen tergolong dalam predikat cukup sehat, karena nilai kreditnya terletak antara 66 – 80, sehingga masih perlu pembenahan terhadap komponen manajemen umum dan manajemen risiko.

Penilaian faktor rentabilitas dari ROA dapat digolongkan dalam predikat sehat, karena nilai ROA pertahunnya diatas 1,215% dan berdasarkan ROE nilainya cenderung menurun, pada tahun 1996 sebesar 26,58% menjadi 15,29% pada tahun 2000, rata-rata penurunannya adalah 9,76 %, sedangkan dari rasio BOPO cendrung meningkat dan tergolong sehat.

Penilaian faktor likuiditas dilihat dari cash ratio dapat digolongkan dalam predikat sehat, karena nilai cash ratio pertahunnya diatas 4,05 %, sedangkan LDRnya cukup bervariasi, yaitu kurang sehat ( 2000), tidak sehat (1999) dan sehat (1996,1997 dan 1998). Tidak ada pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang dilakukan oleh BPR BKK Kunduran sehingga tidak ada nilai pengurang dalam penilaian tingkat kesehatan bank.

2. Pangsa pasar kredit BPR BKK Kunduran terhadap perbankan yang ada di Kabupaten Blora dari tahun 1996 sampai tahun 2000 tidak selalu mengalami peningkatan, peningkatan terjadi hanya pada tahun 1999 dan tahun 2000, demikian pula terhadap perbankan se Propinsi Jawa Tengah peningkatannya terjadi pada tahun 1999 dan 2000. Pangsa pasar Penghimpunan Dana BPR BKK Kunduran terhadap perbankan di Kabupaten Blora setiap tahunnya mengalami penurunan, sedangkan terhadap perbankan se Propinsi Jawa Tengah meningkat hanya pada tahun 1997. Pangsa pasar total aktiva BPR BKK Kunduran terhadap perbankan se Kabupaten Blora setiap tahunnya mengalami penurunan, demikian pula terhadap perbankan se Propinsi Jawa Tengah.

Dari sisi kredit diberikan kepada masyarakat BPR BKK Kundurunan mampu bersaing dengan perbankan di Kabupaten Blora dan perbankan se Propinsi Jawa Tengah, namun kalah bersaing bila dilihat dari penghimpunan dana dan total aktiva.

3. Loan to Deposit Ratio (LDR) rata-rata BPR BKK Kunduran ( 117,30 %) ternyata lebih besar dari pada LDR Perbankan di Kabupaten Blora (83,51%) dan Perbankan se Propinsi Jawa Tengah (69,99%). Ini berarti bahwa BPR BKK Kunduran mampu melaksanakan fungsi intermediasi dana secara baik, karena semua dana masyarakat dapat disalurkan dalam bentuk kredit. Namun demikian besarnya penyaluran kredit tersebut tidak diikuti dengan kemampuan yang cukup dalam menggali dana masyarakat untuk disimpan di BKK Kunduran. Rata-rata pertumbuhan kredit BPR BKK Kunduran lebih besar dari pada rata-rata pertumbuhan kredit yang diberikan oleh perbankan di Kabupaten Blora, ini menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit BPR BKK Kunduran memberikan share lebih besar terhadap PDRB Kabupaten Blora dibandingkan perbankan yang ada di Kabupaten Blora, sedangkan dari pertumbuhan share pendanaan, lebih kecil dibandingkan dengan pada rata-rata pertumbuhan share pendanaan perbankan di Kabupaten Blora, ini menunjukkan bahwa fungsi sumber dana bagi BPR BKK Kunduran masih rendah dibandingkan perbankan yang ada di Kabupaten Blora terhadap PDRB. Demikian juga bila dilihat dari pertumbuhan terhadap share total aktiva, rata-rata pertumbuhan total aktiva BPR BKK Kunduran lebih kecil dari pada rata-rata pertumbuhan total aktiva perbankan di Kabupaten Blora, ini menunjukkan bahwa dilihat dari total aktiva BPR BKK Kunduran memberikan share lebih kecil terhadap PDRB Kabupaten Blora dibandingkan perbankan yang ada di Kabupaten Blora.

4.2 Saran-saran
Agar lebih meningkatkan kinerja keuangan BPR BKK Kunduran dalam menghasilkan laba sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah serta meningkatkan fungsi sumber dana bagi pembangunan ekonomi daerah, disarankan hal-hal sebagai berikut :

1. Pemerintah Daerah Kabupaten Blora, sebagai salah satu pemegang saham diharapkan dapat menyertakan modal ke BKK Kunduran sesuai kepemilikan sahamnya yaitu sebesar 35 % dari Rp. 177.617.000 untuk mencapai modal dasar Rp. 500.000.000,- sesuai Peraturan Daerah Propinsi Tingkat I Jawa Tengah No. 4 Tahun 1995 tanggal 18 April 1995 tentang Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat – Badan Kredit Kecamatan di Propinsi Jawa Tengah, demikian pula halnya Pemda Propinsi Jawa Tengah dan PT BPD Jawa Tengah.

2. Dalam mencadangkan besarnya Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) agar dihitung berdasarkan Kualitas Aktiva Produktif yang sebenarnya, sehingga BPR BKK Kunduran mempunyai cadangan yang cukup untuk menutup kerugian apabila terjadi kredit macet yang tidak dapat ditagih kembali.

3. Melakukan pembenahan manajerial sehingga tercipta manajemen yang profesional dengan melalakukan perbaikan-perbaikan sebagai berikut : a) menetapkan rencana kerja tahunan sebagai acuan kegiatan usaha tanpa adanya revisi ditengah jalan, b) pencatatan transaksi agar dilakukan secara akurat dan laporan keuangan disusun sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku, c) meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan bawahan, d) meningkatkan peran diireksi dalam pengambilan keputusan operasional, e) meningkatkan pemantauan dan pencatatan kredit yang jatuh tempo untuk mencegah kemungkinan timbulnya kesulitan likuiditas, f) mengurangi campur tangan pemilik terhadap kegiatan operasional bank, g) meningkatkan peran dewan pengawas dalam melaksanakan pengawasan terhadap operasional bank.

4. Mengingat rata-rata cash ratio diatas 5 % maka nilai kreditnya juga diatas 100, ini berarti semakin tidak efisien karena kas terlalu besar dan tidak produktif. Bila terjadi kelebihan kas seharusnya dapat ditanam dalam bentuk kredit atau dalam bentuk tabungan di Bank lain. Semuanya ini dilakukan untuk menekan biaya dana dengan tetap mengupayakan pendapatan.
5. Memperhatikan jumlah dana yang disalurkan dalam bentuk kredit dengan menghitung LDR secara akurat, bila LDR diatas 100 berarti semakin besar dana yang disalurkan dalam bentuk kredit maka semakin sulit untuk ditarik kembali sewaktu-waktu. Dengan demikian semakin besar terjadinya resiko likuiditas.

6. Agar tetap tidak melanggar BMPK maka pengelola bank harus mematuhi prisip prudential banking dan kebijakan intern yang telah dibuat. Disamping itu sedapat mungkin menghindari penempatkan dana dalam bentuk deposito maupun tabungan kepada pihak yang terkait dengan bank melebihi 10 % dari modal BPR BKK Kunduran, baik itu ke PT BPD Jawa Tengah sebagai pemilik saham atau ke BPR BKK lainnya dimana pemilik sahamnya sama dengan BPR BKK Kunduran maupun ke PD BPR Kabupaten Blora.

7. Dalam menyusun rencana kerja tahunan untuk menetapkan strategi usaha, sebaiknya BPR BKK Kunduran memperhatikan pertumbuhan PDRB Kabupaten Blora terutama sektor-sektor ekonomi yang mempunyai arti penting bagi dunia perbankan sehingga dapat diperkirakan peluang pemberian kredit dan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

8. Agar BPR BKK Kunduran dapat bersaing dengan perbankan yang ada di Kabupaten Blora dan Perbankan di Jawa Tengah dengan menguasai pangsa pasar yang lebih besar serta untuk meningkatkan fungsi intermediasi dana dan sumber dana dalam rangka pertumbuhan ekonomi daerah, maka BPR BKK Kunduran sudah selayaknya dapat secara otonom menentukan arah kebijakan operasionalnya sesuai aturan yang berlaku, Untuk itu disarankan kepada Badan Pembina BKK Kabupaten Blora mengijinkan BPR BKK Kunduran untuk membuka pos pelayanan di luar wilayah administrasi Kecamatan Kunduran terutama membuka pos pelayanan di kota Blora atau kecamatan lainnya yang ada di Kabupaten Blora, sehingga BPR BKK Kunduran dapat bersaing dengan bank-bank lainnya, hal ini dimungkinkan sesuai pasal 30 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/35/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat

BACA SELENGKAPNYA - Contoh Tesis Bab IV KINERJA KEUANGAN BPR BLORA

Contoh Tesis Bab III KINERJA KEUANGAN BPR BLORA

CONTOH BAB I
KINERJA KEUANGAN BANK PERKEREDITAN RAKYAT (BPR)
BKK KUNDURAN KABUPATEN BLORA

BAB III
ANALISIS DATA


3.1. Cara Penelitian
Penelitian ini dilakukan di BPR BKK Kunduran Kabupaten Blora Propinsi Jawa Tengah. Data yang akan digunakan adalah data primer dan sekunder, data primer diperoleh dengan melakukan wawancara dan kuisioner kepada Direktur beserta Staf BPR BKK Kunduran, Badan Pengawas serta Pejabat di Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Blora, disamping itu melakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian. Data sekunder yang digunakan adalah berupa laporan keuangan terdiri dari Neraca dan Laporan Rugi Laba posisi 31 Desember selama 5 tahun dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2000. Data-data pendukung yang dibutuhkan untuk menilai kinerja keuangan BPR BKK Kunduran, mengetahui pangsa pasar BPR BKK Kunduran terhadap perbankan yang ada di Kabupaten Blora dan perbankan se Propinsi Jawa Tengah, serta untuk mengetahui share-nya terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Blora adalah berupa :

a. Laporan collectibility
b. Laporan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)
c. Laporan Bank Indonesia Semarang mengenai Statistik Ekonomi-Keuangan Daerah Propinsi Jawa Tengah.
d. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Blora atas dasar harga konstan.

Data dan informasi tersebut diperoleh dari : 1) BPR BKK Kunduran, 2) Bagian Keuangan Sekretariat Daerah Kabupaten Blora, 3) Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Blora dan 4) Bank Indonesia Semarang, sedangkan data PDRB Kabupaten Blora diperoleh dari Biro Pusat Statistik Blora.

3.2 Deskripsi Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian lapangan, diperoleh gambaran tentang kinerja keuangan BPR BKK Kunduran, penguasaan pangsa pasar dan kemampuan intermediasi dana serta share terhadap PDRB sebagai berikut :

3.2.1. Penilaian tingkat kesahatan bank
Penilaian tingkat kesehatan bank sangat penting dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan bank tersebut dalam melaksanakan usahanya, disamping itu kesehatan bank merupakan kepentingan untuk semua pihak yang terkait, baik pemilik dan pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank maupun Bank Indonesia selaku pembina dan pengawas bank. Penilaian tingkat kesehatan Bank Perkreditan Rakyat dilakukan dengan menggunakan standar penilaian berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/12/KEP/DIR tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat tanggal 30 April 1997.

Tingkat kesehatan Bank pada dasarnya dinilai dengan pendekatan kuantitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangan suatu Bank. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan penilaian terhadap faktor-faktor permodalan, kualitas aktiva produktif, manajemen, rentabilitas dan likuiditas.

3.2.1.1 Penilaian dan perkembangan faktor permodalan. Modal merupakan salah satu faktor yang penting bagi Bank Perkreditan Rakyat dalam rangka pengembangan usaha dan menampung kemungkinan risiko kerugian. Bank Perkreditan Rakyat bekerja dengan menggunakan dana masyarakat, maka kepentingan masyarakat perlu lebih dilindungi. Penilaian terhadap faktor permodalan didasarkan pada rasio modal terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/20/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/2/BPPP tanggal 29 Mei 1993 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) bagi Bank Perkreditan Rakyat.

Penilaian faktor permodalan didasarkan pada pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM). Bank wajib menyediakan modal minimum /KPMM sebesar 8 % dari aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Perhitungan KPMM Bank Perkreditan Rakyat dilakukan dengan dua tahap, yaitu menghitung ATMR dan rasio modal terhadap ATMR. Dalam menghitung ATMR, pos-pos aktiva diberikan bobot risiko yang besarnya didasarkan pada kadar risiko yang terkandung pada aktiva itu sendiri atau bobot risiko yang didasarkan pada golongan nasabah, penjamin atau sifat dari barang jaminan. ATMR dihitung dengan cara mengalikan nilai nominal pos-pos aktiva dengan risiko bobot masing-masing, kemudian ATMR dari masing-masing pos aktiva dijumlahkan. Sedangkan untuk modal dihitung dengan menjumlahkan modal inti dan modal pelengkap. Dengan membandingkan jumlah modal dengan KPMM dapat diketahui kelebihan dan kekurangan modal bagi Bank Perkreditan yang bersangkutan. Adapun perhitungan ATMR dan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum BPR BKK Kunduran tersaji pada tabel 3.1 sampai 3.10, sebagai berikut:



Sumber : Bagian Kredit dan Bagian Pembukuan BPR BKK Kunduran, diolah.


Bersarkan perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) di atas menunjukkan terjadi peningkatan ATMR dari tahun 1996 sampai tahun 2000, kecuali pada tahun 1998. Pada tahun 1996 sebesar Rp 2.624.046.000,- dan tahun 2000 menjadi Rp 4.288.291.000,- Peningkatan ini terjadi karena adanya peningkatan tagihan kepada perorangan atau tagihan yang dijamin oleh perorangan, disamping itu karena peningkatan deposito berjangka, dan tabungan. Penurunan pada tahun 1998 disebabkan karena adanya pemindahan alokasi dana dari tagihan yang dijamin oleh perorangan ke deposito berjangka. Hasil perhitungan ATMR digunakan sebagai dasar untuk menentukan rasio KPMM. Rasio KPMM dari tahun 1996 sampai tahun 2000 mengalami penurunan. Pada tahun 1996 sebesar 21,23 % dan tahun 2000 menjadi16,40%. Walaupun terjadi penurunan namun masih dapat dikatagorikan sehat karena nilai rasionya diatas KPMM minimum yaitu sebesar 8% (lampiran 15). Berdasarkan hasil rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) selama tahun 1996 sampai tahun 2000, dapat dihitung nilai kreditnya. Nilai kredit untuk faktor permodalan dapat dihitung sebagaimana tabel 3.11 berikut :

3.2.1.2 Pinilaian dan perkembangan faktor kualitas aktiva produktif. Penilaian terhadap Kualitas Aktiva Produktif (KAP) didasarkan pada 2 (dua) rasio, yaitu rasio Aktiva Produktif Yang Diklasifikasikan (APD) terhadap Aktiva Produktif (AP) dan rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang dibentuk oleh Bank (PPAP) terhadap Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang wajib dibentuk oleh Bank (PPAPWD). Aktiva produktif adalah semua aktiva dalam rupiah yang dimiliki oleh BPR dengan maksud untuk memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya meliputi : a) kredit yang diberikan dan b) penempatan dana pada bank lain kecuali penanaman dalam bentuk giro. Aktiva yang diklasifikasikan adalah aktiva produktif, baik yang sudah maupun yang mengandung potensi tidak memberikan penghasilan atau menimbulkan kerugian bagi bank. Variabel yang diperhitungkan sebagai aktiva produktif yang diklasifikasikan adalah : a) 50 % dari aktiva produktif yang digolongkan kurang lancar, b) 75 % dari aktiva produktif yang digolongkan diragukan dan c) 100 % dari aktiva produktif yang digolongkan macet.

Besarnya Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang wajib dibentuk oleh Bank menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/167/KEP/DIR tentang Penyempurnaan Pembentukan PPAP tanggal 29 Maret 1994 sekurang-kurangnya sebesar : a) 0,5% dari aktiva produktif yang digolongkan lancar, dan b) 10 % dari aktiva produktif yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan yang dikuasai, dan c) 50% dari aktiva produktif yang digolongkan diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan yang dikuasai, dan d) 100 % dari aktiva produktif yang digolongkan macet setelah dikurangi dengan nilai agunan yang dikuasai. Nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang setinggi-tingginya 100% dari nilai agunan yang bersifat likuid yaitu uang kas, uang kertas asing, emas, mata uang emas serta giro, deposito dan tabungan pada bank yang bersangkutan, sedangkan untuk agunan lainnya setinggi-tingginya 75 % dari nilai agunan atau sebesar nilai yang ditetapkan oleh perusahaan. Perhitungan rasio aktiva produktif yang diklasifikasikan (APD) terhadap aktiva produktif (AP) serta perhitungan nilai kredit rasio ini, tersaji pada tabel 3.12 sebagai berikut :

Rasio aktiva produktif yang diklasifikasikan terhadap aktiva produktif selama 5 tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 1996 sebesar 2,90 % dan pada tahun 2000 menjadi 9,64 %. Peningkatan rasio ini menyebabkan nilai kreditnya menurun dan penilaian terhadap kualitas aktiva produktif juga mengalami penurunan, karena ciri dari rasio ini adalah semakin kecil nilai rasionya berarti kualitas kreditnya semakin baik. Walaupun terjadi peningkatan rasio aktiva produktif yang diklasifikasikan namun masih dapat dikatagorikan sehat, karena nilai rasio setiap tahunnya dibawah 10,35%, dimana nilai 10,35% adalah angka maksimum untuk dapat dikatagorikan sehat (lampiran 16). Perhitungan rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang dibentuk oleh bank terhadap Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang wajib dibentuk oleh bank (PPAPWD) serta perhitungan nilai kredit rasio ini, tesaji pada tabel 3.13, berikut ini :

Rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang dibentuk oleh bank terhadap Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang wajib dibentuk oleh bank (PPAPWD) dari tahun 1996 sampai tahun 2000 cenderung mengalami penurunan, pada tahun 1996 sebesar 185,35% menjadi 65,98% pada tahun 2000, penurunan ini juga menyebabkan penurunan nilai kredit. Standar minimum rasio PPAP terhadap PPAPWD masuk dalam katagori sehat adalah 81 % (lampiran 17), sehingga hanya pada tahun 1996 dan 1997 saja yang masuk dalam katagori sehat. Rasio ini mengukur tingkat kecukupan BPR dalam membentuk PPAPWD berdasarkan Kualitas Aktiva Produktif, semakin banyak kredit yang termasuk dalam kelompok kurang lancar, diragukan atau macet maka semakin besar pula PPAP yang harus dibentuk

3.2.1.3 Penilaian dan perkembangan faktor manajemen. Penilaian kuantitatif terhadap faktor manajemen mencakup 2 (dua) komponen yaitu manajemen umum dan manajemen risiko. Penilaian dilakukan dengan mengamati langsung kondisi BPR BKK Kunduran dan melalui kuisioner dengan daftar pertanyaan yang standar digunakan oleh Bank Indonesia dalam menilai tingkat kesehatan bank. Manajemen umum dan manajemen risiko dapat dikatagorikan sehat apabila memiliki total skor 81 (lampiran 18). Adapun hasil dari penilaian manajemen dapat ditampilkan pada tabel 3.14 berikut :

Perkembangan faktor manajemen menunjukkan bahwa nilai kredit untuk manajemen umum lebih baik dibandingkan manajemen risiko. Nilai kredit manajemen umum dan manajemen risiko cenderung menurun. Pada tahun 1996 nilai kredit manajemen umum sebesar 77,5 dan tahun 2000 menjadi 75, demikian pula halnya untuk manajemen risiko, pada tahun 1996 sebesar 73,3 dan tahun 2000 menjadi 71,7. Penilaian untuk faktor manajemen secara keseluruhan dari tahun 1996 sampai tahun 2000, tergolong cukup sehat karena total skor pertahunnya dibawah 81, dimana 81 standar minimal untuk dapat dikatakan sehat (lampiran 18)

3.2.1.4 Penilaian dan perkembangan faktor rentabilitas. Penilaian kuantitatif terhadap faktor rentabilitas didasarkan pada 2 (dua) rasio yaitu a) rasio laba sebelum pajak dalam 12 bulan terakhir terhadap rata-rata volume usaha dalam periode yang sama rasio ini sering disebut ROA, b) rasio biaya operasi dalam 12 bulan terakhir terhadap pendapatan operasional dalam periode yang sama, rasio ini sering disingkat dengan BOPO. Adapun perhitungan rasio laba sebelum pajak terhadap rata-rata volume usaha (ROA) BPR BKK Kunduran dan perhitungan nilai kreditnya terlihat pada tabel 3.15 berikut ini :

Rasio laba sebelum pajak terhadap rata-rata volume usaha (ROA) BPR BKK Kunduran selama 5 tahun terakhir cukup tinggi, namun ada kecenderungan mengalami penurunan. Pada tahun 1996 sebesar 17,76 % dan tahun 2000 menjadi 10,60 %. Nilai rasio ROA tersebut dapat dikatagorikan sehat karena diatas 1,215 %, yaitu nilai minimum ROA untuk dapat dikatagorikan sehat (lampiran 19). Perhitungan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) dan perhitungan nilai kredit rasio tersebut, tersaji dalam tabel 3.16 berikut :

Rasio biaya operasional terhadap pendapatan oprasional pada tahun 1996 sebesar 80,45 % dan pada tahun 2000 sebesar 84,21 %. Ada kecenderungan biaya operasional peningkatannya lebih besar dibandingkan pendapatan operasional. Semakin besar peningkatan rasio BOPO berarti semakin kurang efisien. Agar dapat dikatagorikan sehat maka nilai rasio BOPO maksimum 93,52 % (lampiran 20), oleh sebab itu rasio BOPO BPR BKK Kunduran selama 5 tahun terakhir termasuk dalam katagori sehat.

Kemampuan bank dalam menghasilkan profitabilitas secara kuantitatif dapat juga dinilai dengan return on equity (ROE) yaitu perbandingan antara jumlah keuntungan bersih (net income) dengan jumlah modal yaitu modal inti dan modal pelengkap (Muljono, 1996:433). Perhitungan rasio ROE dan laju inflasi Kabupaten Blora tersaji dalam tabel 3.17 berikut :



Nilai rasio ROE dari tahun 1996 sampai tahun 2000 cenderung menurun, pada tahun 1996 sebesar 26,58% menjadi 15,29% pada tahun 2000, rata-rata penurunannya adalah 9,76 %. Rata-rata ROE selama lima tahun adalah 18,34 % dan rata-rata inflasi sebesar 14,85 %, sehingga ROE yang diperoleh BPR BKK Kunduran di atas rata-rata inflasi, namun nilai riil dari ROE tersebut hanya 3,49%, dan ini cukup membahayakan pada tahun-tahun mendatang karena ada kecenderungan nilai ROE akan semakin menurun sedangkan inflasi semakin meningkat.

3.2.1.5 Penilaian dan perkembangan faktor likuiditas. Penilaian terhadap faktor likuiditas didasarkan pada 2 (dua) rasio yaitu : 1) Rasio alat likuid terhadap hutang lancar sering disebut cash ratio (CR). Alat likuid meliputi kas dan penanaman dana pada bank lain dalam bentuk giro dan tabungan dikurangi dengan tabungan bank lain pada bank. Hutang lancar meliputi kewajiban segera, tabungan dan deposito, 2) Rasio kredit terhadap dana yang diterima oleh bank, sering disebut Loan to Deposit Ratio (LDR). Yang dimaksud dengan kredit adalah meliputi : a) kredit yang diberikan kepada masyarakat dikurangi dengan kredit sindikasi yang dibiayai bank lain; b) penanaman kepada bank lain dalam bentuk kredit yang diberikan dengan jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan; c) penanaman kepada bank lain dalam bentuk kredit dalam rangka kredit sindikasi, sedangkan yang termasuk dalam dana yang diterima meliputi : a) deposito dan tabungan masyarakat; b) pinjaman bukan dari bank lain dengan jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan (diluar pinjaman subordinasi); c) deposito dan pinjaman dari bank lain dengan jangka waktu lebih dari 3 bulan; d) modal inti; dan e) modal pinjaman. Perhitungan rasio alat likuid terhadap hutang lancar ( Cash Ratio) dan perhitungan nilai kredit dari rasio tersebut tersaji dalam tabel 3.18 berikut.

Dari tahun 1996 sampai tahun 2000, nilai rasio alat likuid terhadap hutang lancar diatas 4,05 %, sangat berfluktuasi dan ada kecendrungan menurun. Pada tahun 1996 mencapai 11,05 % dan tahun 2000 menjadi 6,44%, karena nilai rasio tiap tahunnya masih di atas 4,05% maka dapat dikatagorikan dalam predikat sehat, untuk dapat dikatagorikan sehat minimum nilai rasionya mencapai 4,05% (lampiran 21). Sementara itu perhitungan rasio kredit terhadap dana yang diterima oleh bank (LDR) serta perhitungan nilai kredit terhadap rasio tersebut, tersaji pada tabel 3.19 sebagai berikut :

Nilai LDR dari tahun 1996 sampai tahun 2000 cenderung meningkat, pada tahun 1996 sebesar 92,39% dan tahun 2000 menjadi 100,93 %. Rasio yang mendapatkan nilai kredit di atas 81 terjadi pada tahun 1996,1997 dan 1998, sedangkan lainnya di bawah 81. Nilai LDR pada tahun 1996,1997 dan 1998 tergolong sehat, karena untuk dapat dikatagoikan sehat nilai LDR maksimum sebesar 94,75 % (lampiran 22). Ciri dari rasio ini adalah semakin besar LDR semakin tidak baik, karena semakin besar dana yang disalurkan dalam bentuk kredit sehingga tidak setiap saat dapat ditarik kembali.

3.2.1.6 Penilaian terhadap pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit. Pelaksanaan ketentuan yang sanksinya dikaitkan dengan penilaian tingkat kesehatan bank, meliputi pelanggaran terhadap ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Dihitung berdasarkan jumlah kumulatif pelanggaran BMPK kepada debitur individual, debitur kelompok dan pihak terkait dengan bank, terhadap modal bank. Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/61/KEP/DIR tanggal 9 juli 1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat, disebutkan bahwa BMPK bagi satu peminjam atau satu kelompok peminjam yang tidak terkait dengan bank adalah sebesar 20 % dari modal bank, sedangkan BMPK bagi pihak-pihak yang terkait dengan bank, baik secara individual maupun secara keseluruhan setingi-tingginya sebesar 10 % dari modal bank.

BPR BKK Kunduran dari tahun 1996 sampai tahun 2000 (lampiran 14) selalu memberikan fasilitas kredit kepada karyawannya dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pengembaliannya dipotong dari gaji bulanan karyawan tersebut. Pada tahun 1996 plafond kredit untuk karyawan sebesar Rp. 52.900.000,- dengan baki debet sebesar Rp. 47.466.000,- Pada tahun 2000 plafonnya menjadi Rp. 387.000.000,- dengan baki debet Rp. 338.731.000,- Dilihat dari besarnya modal BPR BKK Kunduran pada tahun 2000 adalah Rp. 703.320.000,- berarti kredit karyawan yang diberikan sebesar 48,16 % dari modal atau di atas 10% modal BPR BKK Kunduran. Sesuai Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/61/KEP/DIR di atas pada pasal 8 disebutkan bahwa salah satu fasilitas kredit yang tidak terkena BMPK adalah fasilitas kredit kepada anggota direksi, komisaris dan pegawai bank yang diberikan dalam rangka peningkatan kesejahteraan serta dibayar kembali dari pendapatan yang diperoleh dari bank bersangkutan, sehingga fasilitas kredit yang diberikan oleh BPR BKK Kunduran kepada karyawannya tidak termasuk dalam pelanggaran BMPK walaupun kredit itu diberikan kepada pihak yang terkait dengan bank dan tidak mengurangi nilai kredit dalam penilaian tingkat kesehatan bank.

Berdasarkan penilain dari faktor-faktor permodalan, kulitas aktiva produktif , manajemen, rentabilitas, likuiditas dan BMPK, dapat diketahui rekapitulasi hasil penilaian tingkat kesehatan bank BPR BKK Kunduran sebagaimana tabel 3.20 berikut :


3.2.2. Analisis dan Perkembangan Pangsa Pasar (market share)
Analisis pangsa pasar dilakukan untuk mengetahui sejauhmana penguasaan pangsa pasar BPR BKK Kunduran terhadap perbankan yang ada di Kabupaten Blora dan perbankan se Propinsi Jawa Tengah. Analisis Pangsa pasar ( Market share ) dilihat dari variabel kredit, dana yang dapat dihimpun dan total aktiva. Adapun jumlah kredit, dana yang dapat dihimpun dari masyarakat serta total aktiva BPR BKK Kunduran, Perbankan di Kabupaten Blora dan Perbankan se Propinsi Jawa Tengah terlihat dalam tabel 3.21 berikut:


3.2.2.1 Pangsa pasar terhadap perbankan di Kabupaten Blora. Analisis pangsa pasar terhadap perbankan di Kabupaten Blora dilakukan dengan membandingkan total aktiva, dana yang dapat dihimpun dari masyarakat dan kredit yang diberikan kepada masyarakat oleh BPR BKK Kunduran terhadap perbankan yang ada di kabupaten Blora. Berdasarkan tabel 3.20, dapat dihitung pangsa pasar terhadap perbankan di Kabupaten Blora sebagaimana tersaji pada tabel 3.22 berikut :

Pangsa pasar kredit (Market share kredit atau MSK) menunjukkan kecenderungan meningkat, pada tahun 1996 sebesar 2,06 % menjadi 2,16 % pada tahun 2000. Penurunan terjadi pada tahun 1997 dan tahun 1998, yaitu menjadi 1,89% dan 1,65%, sedangkan pangsa pasar penghimpunan dana (Market share Penghimpunan Dana atau MSPD) dan pangsa pasar total aktiva (maket share total aktiva atau MSTA) cenderung menurun. Pada tahun 1996 MSPD sebesar 1,80 % dan menjadi 1,15% pada tahun 2000, MSTA sebesar 1,98 % menjadi 1,39%.

3.2.2.2 Pangsa pasar terhadap perbankan di Propinsi Jawa Tengah. Analisis pangsa pasar ini membandingkan total aktiva, dana yang dapat dihimpun dari masyarakat dan kredit yang diberikan kepada masyarakat oleh BPR BKK Kunduran terhadap perbankan yang ada di Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan tabel 3.21, dapat dihitung pangsa pasar terhadap perbankan di Propinsi Jawa Tengah sebagaimana tersaji pada tabel 3.23 berikut :

Pangsa pasar kredit (Market share kredit atau MSK) menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun 1996 sebesar 0,020 % pada tahun 1996 menjadi 0,032 % pada tahun 2000. Pangsa pasar penghimpunan dana (Market share penghimpunan dana atau MSPD) dan pangsa pasar total aktiva (market share total aktiva atau MSTA) sebaliknya cenderung menurun, MSPD pada tahun 1996 sebesar 0,016% dan menjadi 0,010 % pada tahun 2000, sedangkan MSTA dari 0,015% menjadi 0,012%.

3.2.3 Analisis Intermediasi Dana
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan fungsi intermediasi dana BPR BKK Kunduran dibandingkan dengan kemampuan perbankan yang ada di Kabupaten Blora dan perbankan se Propinsi Jawa Tengah. Tingkat intermediasi dana tersebut dapat diketahui dengan menghitung nisbah antara total kredit dengan total dana yang dihimpun atau sering disebut dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) atau Banking Ratio. Berdasarkan tabel 3.21, dapat dihitung intermediasi dana BPR BKK Kunduran, perbankan di Kabupaten Blora dan perbankan se Propinsi Jawa Tengah sebagaimana tersaji pada tabel 3.24 berikut :

Hampir semua perbankan, baik BKK Kunduran, perbankan di Kabupaten Blora dan perbankan se Propinsi Jawa Tengah memiliki nilai nisbah antara kredit dengan penghimpunan dana (LDR) semakin menurun dari tahun 1996 sampai tahun 2000. LDR BPR BKK Kunduran pada tahun 1996 sebesar 134,45 % dan pada tahun 2000 turun menjadi 121,17 %., perbankan di Kabupaten dari 117,73 % menjadi 64,53%, demikian pula dengan perbankan di Jawa Tengah dari 106,13 % menjadi 38,53%. Rata-rata LDR BPR BKK Kunduran adalah 117,30 %, berarti di atas rata-rata LDR perbankan yang ada di Kabupaten Blora yaitu 83,51% dan di atas rata-rata LDR perbankan yang ada di Propinsi Jawa Tengah yang hanya sebesar 69,99%. Menunjukkan bahwa BPR BKK Kunduran lebih baik dalam mengitermediasi dana masyarakat ke dalam bentuk kredit dibandingkan perbankan yang ada di Kabupaten Blora dan perbankan se Jawa Tengah. Perhitungan share dana yang dihimpun, kredit yang disalurkan dan total aktiva BPR BKK Kunduran terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Blora, terlihat pada tabel berikut :

Proporsi atau share Kredit yang disalurkan oleh BPR BKK Kunduran terhadap PDRB Kabupaten Blora pada tahun 1996 sebesar 0,347% dan semakin meningkat menjadi 0,552% pada tahun 2000, kecuali pada tahun 1998 mengalami penurunan sebesar 0,072 %. Rata-rata share kredit terhadap PDRB adalah 0,424 %. Share penghimpunan dana juga mengalami peningkatan dari 0,258 % pada tahun 1996 menjadi 0,456 % pada tahun 2000, dengan rata-rata share sebesar 0,364 %, demikian pula share total aktiva terhadap PDRB meningkat dari 0,390% pada tahun 1996 menjadi 0,624 % pada tahun 2000, rata-rata share-nya adalah 0,520% Proporsi atau share kredit yang disalurkan oleh perbankan di Kabupaten Blora terhadap PDRB adalah sebesar 16,844 % pada tahun 1996 dan meningkat menjadi 25,546% pada tahun 2000, atau rata-rata sebesar 21,412%. Share penghimpunan dana terhadap PDRB juga meningkat dari 14,307 % pada tahun 1996 menjadi 39,588 % pada tahun 2000, rata-rata share ini adalah 28,681 %. Share total aktiva terhadap PDRB meningkat dari 19,683% pada tahun 1996 menjadi 44,896% pada tahun 2000, dengan rata-rata share sebesar 32,866%.

3.3 Pembahasan Hasil Penelitian
3.3.1 Pembahasan Tingkat Kesehatan Bank
Berdasarkan hasil analisis di atas terbukti bahwa sejak tahun 1996 sampai tahun 2000 predikat BPR BKK Kunduran adalah sehat, karena nilai kredit gabungan pertahunnya di atas 81. Pada tahun 1996 nilai kreditnya sebesar 95 menjadi 87 pada tahun 2000 dan ada kecenderungan menurun pada tahun-tahun berikutnya. Penurunan nilai kredit ini sangat dipengaruhi oleh beberapa komponen kualitas aktiva produktif (KAP), manajemen dan likuiditas, yaitu: a) penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) terlalu kecil, terutama pada tahun 1998 sampai tahun 2000, b) faktor manajemen, baik manajemen umum dan manajemen risiko dan c) masih tingginya rasio kredit terhadap dana masyarakat yang dihimpun, terutama pada tahun 1999 dan tahun 2000 nilai kreditnya masih dibawah 81.

3.3.1.1 Pembahasan faktor permodalan. Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (KPMM) BPR BKK Kunduran dari tahun 1996 sampai tahun 2000 tergolong dalam predikat sehat, karena rasio KPMM setiap tahunnya selalu diatas 8 % dari ATMR yaitu nilai batas minimal yang ditentukan oleh Bank Indonesia untuk dapat tergolong sehat. Meskipun demikian ada tendensi rasio ini menurun, pada tahun 1996 sebesar 21,23 % menjadi 16,48 % di tahun 2000. Penurunan ini disebabkan karena peningkatan rata-rata Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) lebih besar (13,8 %) dibandingkan rata-rata peningkatan Modal (6,23%). Peningkatan ATMR tersebut sangat dipengaruhi oleh a) meningkatnya pos antar bank aktiva, yaitu berupa tabungan dan deposito pada bank lain dari Rp. 158.573.000,- pada tahun 1996 dan menjadi Rp.222.784.000,- pada tahun 2000, b) peningkatan kredit yang diberikan, Rp. 2.439.208.000 pada tahun 1996 menjadi Rp. 3.926.352.000 pada tahun 2000. c) peningkatan inventaris dari Rp. 168.737.000,- pada tahun 1996 menjadi Rp. 340.061.000,- pada tahun 2000. Sementara peningkatan modal, dominan dipengaruhi oleh modal inti padahal modal inti ini kenaikannya tidak terlalu besar, seperti: a) cadangan umum pada tahun 1996 sebesar Rp. 93.627.000 dan tahun 2000 menjadi Rp 159.544.000,- b) cadangan tujuan pada tahun 1996 sebesar Rp 87.320.000 dan pada tahun 2000 sebesar Rp 114.005.000,- Selama tahun 1996 sampai tahun 1999 pemilik tidak pernah menambah setoran modal, kecuali pada tahun 2000 sebesar Rp. 32.968.000 oleh Pemerintah Propinsi Jawa Tengah ( pemegang saham 50 %) dan Rp. 20.000.000,- oleh Pemerintah Kabupaten Blora (pemegang saham 35%), sedangkan PT BPD Jawa Tengah sebagai pemegang saham 15 %, selama periode penelitian di atas belum menambah setoran modal (lampiran 25). Total modal yang disetor oleh pemilik sampai tahun 2000 menjadi Rp. 322.383.000,- atau baru mencapai 64,48 % dari modal dasar. Sesuai Peraturan Daerah Propinsi Tingkat I Jawa Tengah No. 4 Tahun 1995 tanggal 18 April 1995 tentang Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat – Badan Kredit Kecamatan di Propinsi Jawa Tengah, modal dasar yang ditetapkan untuk BPR BKK Kunduran adalah Rp. 500.000.000,- sehingga masih ada kekurangan modal yang disetor oleh pemilik Rp. 177.617.000,- Apabila setoran modal dapat ditambah sebesar modal dasar sesuai Peraturan Daerah tersebut, akan dapat berdampak terhadap perkembangan BPR BKK Kunduran, karena : a) BPR BKK Kunduran mendapatkan tambahan dana segar (fresh money) dari pemilik, hal ini akan menguntungkan bagi BPR BKK Kunduran dan masyarakat karena bunga kredit akan lebih murah dibandingkan dengan menggunakan dana dari pihak ketiga. Berdasarkan rasio LDR terlihat bahwa selama tahun 1996 sampai tahun 2000 terlihat bahwa semua dana pihak ketiga disalurkan kedalam bentuk kredit, sehingga rata-rata bunga kredit selama ini cukup mahal yaitu diatas 3 % perbulan b) modal inti akan bertambah, sehingga dapat menyeimbangkan LDR menuju rasio yang sehat, c) bertambahnya setoran modal akan memberikan keleluasaan bagi manajemen BPR BKK Kunduran untuk meningkatkan plafond Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) bagi pihak yang tidak terkait maupun yang terkait dengan bank, d) dengan tambahan modal menjadi Rp 500.000.000,- BPR BKK Kunduran dimungkinkan untuk membuka pos pelayanan atau kantor kas di luar wilayah Kecamatan Kunduran dan diijinkan untuk mememindahkan kantor pusatnya ke Kota Blora, sesuai pasal 32 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/35/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat
3.3.1.2 Pembahasan faktor kualitas aktiva produktif. Rasio Aktiva Produktif Yang Diklasifikasikan (APYD) terhadap Aktiva Produktif (AP) dari tahun 1996 sampai tahun 2000, dapat dikatagorikan kedalam predikat sehat, karena nilainya dibawah 10,35 %. Ada kecendrungan rasio ini semakin meningkat, peningkatan ini disebabkan karena berkurangnya kredit lancar dan bertambahnya kredit bermasalah (kredit kurang lancar, diragukan dan macet). Pada tahun 1996 kredit lancar sebesar 95,35 %, kredit kurang lancar sebesar 2,08 %, kredit diragukan 2,06 % dan kredit macet sebesar 0,51% dari total kredit Rp 2.439.208.000,- sedangkan pada tahun 2000 terjadi penurunan kredit lancar mencadi 85,79 % dan bertambahnya kredit kurang lancar menjadi 6,30 %, bertambahnya kredit diragukan menjadi 3,50 % dan bertambahnya kredit macet menjadi 4,41 % dari total kredit pada tahun itu sebesar Rp. 3.926.312.000,- Sebagai upaya untuk memperkecil kemungkinan bertambahnya kredit bermasalah, terutama bagi kredit yang digolongkan diragukan atau macet, agar diusahakan pembenahan kredit sesuai perjanjian yang dicantumkan dalam akad kredit. Penanganan kredit dapat dilakukan dengan penjadwalan kembali, persyaratan kembali atau penataan kembali, sedangkan untuk pemberian kredit baru diupayakan lebih bersifat hati-hati.

Rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang dibentuk oleh Bank (PPAP) terhadap Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang wajib dibentuk oleh Bank (PPAPWD) dari tahun 1996 sampai tahun 2000 menunjukkan kecendrungan semakin menurun, pada tahun 1996 nilainya adalah 185,35 % kemudian pada tahun 2000 menjadi 65,98 %. Penurunan rasio ini membawa pengaruh terhadap penurunan nilai kreditnya, sehingga predikatnya bervariasi dari sehat, cukup sehat sampai kurang sehat. Menurunnya rasio ini disebabkan karena cadangkan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang dibentuk sangat kecil dibandingkan peningkatan kualitas aktiva produktifnya serta peningkatan kredit bermasalah baik itu dalam katagori kredit kurang lancar, diragukan atau macet. Semakin banyak kredit bermasalah maka semakin besar pula PPAP yang harus dibentuk. Bila dilihat PPAP tahun 2000 sebesar Rp. 108.598.0000,- sedangkan PPAPWDnya Rp. 164.581.000,- atau proporsinya 65,98 %, berarti masih jauh dibawah 81 %. Pada tahun-tahun mendatang mendatang BPR BKK Kunduran harus mencadangkan PPAP lebih tinggi dari yang telah dicadangkan sebelumnya sampai mencapai rasio minimal 81%, hal ini dimaksudkan agar bank memiliki cadangan yang cukup untuk menutup kerugian yang mungkin timbul akibat kredit yang ditanamkan tidak dapat ditarik kembali.

3.3.1.3 Pembahasan faktor manajemen. Secara umum penilaian terhadap faktor manajemen menunjukkan hasil dengan nilai kredit termasuk dalam katagori cukup sehat karena nilai kreditnya dibawah 81. Ada beberapa hal yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan nilai kreditnya, yaitu :

1. Rencana kerja tahunan dibuat secara cermat untuk dipakai sebagai acuan kegiatan usaha dan tanpa perlu melakukan revisi ditengah jalan.
2. Pencatatan transaksi agar dilakukan secara akurat dan laporan keuangan disusun sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.
3. Meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan bawahan.
4. Direksi lebih berperan dalam pengambilan keputusan operasional.
5. Meningkatkan pemantauan dan pencatatan kredit yang jatuh tempo untuk mencegah kemungkinan timbulnya kesulitan likuiditas.
6. Meningkatkan cadangan pembentukan penyisihan piutang berdasarkan prinsip kehati-hatian.
7. Mengurangi campur tangan pemilik terhadap kegiatan operasional bank.
8. Meningkatkan peran dewan pengawas dalam melaksanakan pengawasan terhadap operasional bank.

3.3.1.4 Pembahasan faktor rentabilitas. Rasio laba sebelum pajak dalam 12 bulan terakhir terhadap rata-rata volume usaha dalam periode yang sama (ROA), selama tahun 1996 sampai tahun 2000 menunjukkan kecendrungan menurun, namun demikian masih dalam katagori sehat karena nilai rasio ini diatas 1,215 %. Kondisi seperti ini sangat dipengaruh oleh kemapuan BPR BKK Kunduran dalam memperoleh laba sebelum pajak, tahun 1996 mencapai Rp. 148.082.000,- sedangkan tahun 2000 turun menjadi Rp. 141.168.000,- Berdasarkan rasio ROE juga menunjukkan kecenderungan menurun, pada tahun 1996 sebesar 26,58% menjadi 15,29% pada tahun 2000, rata-rata penurunannya adalah 9,76 %, sehingga mencerminkan kemampuan BPR BKK Kunduran dalam menghasilkan laba dari modal yang ditanam semakin menurun. Rata-rata ROE selama lima tahun adalah 18,34 % dan rata-rata inflasi sebesar 14,85 %, berarti ROE yang diperoleh BPR BKK Kunduran di atas rata-rata inflasi, namun nilai riil dari ROE tersebut hanya 3,49%, dan ini cukup membahayakan pada tahun-tahun mendatang karena ada kecenderungan nilai ROE akan semakin menurun sedangkan inflasi semakin meningkat.

Rasio biaya operasi dalam 12 bulan terakhir terhadap pendapatan operasional dalam periode yang sama ( BOPO) dari tahun 1996 sampai ahun 2000 cendrung meningkat dan tergolong dalam katagori sehat, karena nilainya dibawah 93,52 %. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi rasio ini adalah pendapatan operasional berupa pendapatan kredit, dimana pada tahun 1996 sebesar Rp. 686.000.000,- menjadi Rp. 1.102.210.000,- pada tahun 2000 dan pos beban operasional, didominasi oleh biaya bunga yaitu dari Rp. 294.903.000,- pada tahun 1996 menjadi Rp. 487.802.000,- pada tahun 2000, kemudian disusul oleh pos biaya tenaga kerja serta barang dan jasa dari Rp. 239.642.000,- menjadi Rp. 454.119.000,- Proporsi biaya ini mencapai 40,48% dari beban operasionalnya, sehingga diharapkan dapat ditekan guna dapat meningkatkan rentabilitas.

Rentabilitas merupakan harapan bagi pengelola bank maupun pemegang saham, selama ini BPR BKK Kunduran telah memberikan kontribusi kepada pemegang saham baik Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, Pemerintah Kabupaten Blora dan PT. BPD Jateng sebagai pemegang saham. Sampai tahun 2000, BPR BKK Kunduran telah memberikan setoran bagian laba kepada pemegang saham sebesar Rp. 301.938.000,- yang dialokasikan untuk Pemerintah Propinsi Jawa Tengah sebesar Rp. 156.836.000,- Pemerintah Kabupaten Blora Rp. 104.953.000,- dan PT BPD Jawa Tengah sebesar Rp. 40.149.000,- (lampiran 26)

3.3.1.5 Pembahasan faktor likuiditas. Dari tahun 1996 sampai tahun 2000 nilai Cash Ratio (CR) tergolong sehat, karena nilainya berada diatas 4,05 %. Semakin tinggi CR menujukkan semakin tidak efisien dalam mengelola dana, oleh sebab itu CR sebesar 17,20 % pada tahun 1999 agar tidak terulang kembali, dimana saldo kas pada saat itu mencapai Rp 101.095.00,- Kelebihan kas seperti ini seharusnya dapat disalurkan dalam bentuk kredit atau ditabung di Bank lain. Semuanya ini dilakukan untuk menekan biaya dana dengan tetap mengupayakan pendapatan.

Selama tahun 1996 sampai 1998 Loan to Deposit Ratio (LDR) menunjukkan nilai di bawah 94,75 %, berarti termasuk dalam katagori sehat, sedangkan pada tahun 1999 dan tahun 2000 tergolong tidak sehat dan kurang sehat, karena pada tahun 1999 dan tahun 2000 kredit yang diberikan oleh BPR BKK Kunduran jauh lebih besar dari pada dana yang dihimpunnya. Dilihat dari sisi likuiditas hal ini tidak baik karena semakin besar dana yang disalurkan dalam bentuk kredit tidak setiap saat dapat ditarik kembali, sehingga semakin besar kemungkinan terjadi risiko likuiditas. Pengelolaan dana yang disalurkan dalam bentuk pinjaman harus dilakukan secara sehat dengan memenuhi rambu LDR, artinya jangan sampai kredit diberikan terlampau besar atau terlalu kecil dari dana pihak ketiga.

3.3.1.6 Pembahasan terhadap pelanggaran batas maksimum pemberian kredit. Selama tahun 1996 sampai tahun 2000, tidak ada pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) baik kepada debitur individual, debitur kelompok dan pihak terkait dengan bank, namun demikian perlu dihindari terjadinya pelanggaran BMPK dimasa yang akan datang, terutama dalam penempatan dana berupa deposito maupun tabungan kepada pihak yang terkait dengan bank melebihi 10 % dari modal BPR BKK Kunduran, baik itu ke PT BPD Jawa Tengah sebagai pemilik saham atau ke BPR BKK lainnya dimana pemilik sahamnya sama dengan BPR BKK Kunduran maupun ke BPR Kabupaten Blora.

3.3.2 Pembahasan Pangsa Pasar (Market Share)
Penguasaan pangsa pasar (market share) BPR BKK Kunduran terhadap perbankan yang ada di Kabupaten Blora dan perbankan se Propinsi Jawa Tengah, dilihat dari 3 variabel yaitu : kredit, dana yang dapat dihimpun dan total aktiva. Berdasarkan hasil analisis dari tahun 1996 sampai tahun 2000 tidak terbukti bahwa pangsa pasar BPR BKK Kunduran meningkat setiap tahunnya untuk semua variabel tersebut.

Jumlah bank yang ada di Kabupaten Blora sampai akhir tahun 2000 terdiri dari 4 Kantor Cabang Bank Umum dengan 8 Kantor Cabang Pembantu dan 2 Kantor Kas, sedangkan untuk BPR terdiri dari 19 Kantor. Jumlah bank yang ada di Propinsi Jawa Tengah adalah 40 Bank umum dengan 1.552 kantor dan 587 BPR dengan 598 kantor.

Pangsa pasar BPR BKK Kunduran terhadap perbankan yang ada di Kabupaten Blora dari tahun 1996 sampai tahun 2000 relatif kecil untuk semua variabel yang diteliti. Dilihat dari jumlah kredit yang disalurkan kepada masyarakat, nilai pangsa pasar ( Market Share Kredit atau MSK) BPR BKK Kunduran semakin meningkat, pada tahun 1996 sebesar 2,06% menjadi 2,16% pada tahun 2000, ini menunjukkan bahwa BPR BKK Kunduran mampu bersaing tehadap perbankan di Kabupaten Blora. Peningkatan MSK ini tidak diikuti dengan peningkatan pangsa pasar penghimpunan dana (Market share penghimpunan dana atau MSPD) dan pangsa pasar total aktiva (market share total aktiva atau MSTA), pada tahun 1996 MSPD sebesar 1,80 % dan MSTA 1,98%, kemudian tahun 2000 MSPD turun menjadi 1,15% dan MSTA menjadi 1,39%. Berdasarkan MSPD dan MSTA maka BPR BKK Kunduran kalah bersaing terhadap perbankan yang ada di Kabupaten Blora. Demikian pula halnya dengan pangsa pasar BPR BKK Kunduran terhadap perbankan se Propinsi Jawa Tengah juga relatif kecil untuk semua variabel. Dilihat dari jumlah kredit yang diberikan kepada masyarakat nilai MSK meningkat dari tahun 1996 yaitu 0,020% menjadi 0,032% pada tahun 2000, berarti dari sisi kredit BPR BKK Kunduran mampu bersaing dengan perbankan lainnya di Jawa Tengah. Sementara bila dilihat dari pangsa pasar penghimpunan dana dan pangsa pasar total aktiva mengalami penurunan, pada tahun 1996 MSPD sebesar 0,016% dan MSTA 0,015%, pada tahun 2000 MSPD turun menjadi 0,010% dan MSTA menjadi 0,012%, berarti bahwa dari sisi pengumpulan dana dan total aktiva BPR BKK Kunduran masih kalah bersaing dengan perbankan lainnya di Jawa Tengah.

Peningkatan MSK BPR BKK Kunduran terhadap perbankan lain, baik di Kabupaten Blora maupun di Jawa Tengah disebabkan karena selama ini BPR BKK Kunduran lebih banyak memberikan kredit untuk sektor pertanian dan perdagangan, guna mendukung modal kerja sektor tersebut. Pada tahun 1999 jumlah kredit sektor pertanian mencapai Rp. 2.575.037.000,- (74,26 %) dan pada tahun 2000 mencapai Rp. 2.258.475.000,- (57,52 %), sedangkan untuk sektor perdagangan pada tahun 1999 mencapai Rp. 361.946.000,- ( 10,44 %) dan pada tahun 2000 sebesar Rp. 605.774.000,- (15,43 %).

Penurunan MSPD dan MSTA baik terhadap perbankan di Kabupaten Blora maupun perbankan se Jawa Tengah sangat terkait dengan keterbatasan operasional BPR BKK Kunduran, selama ini wilayah operasional BPR BKK Kunduran hanya di Kecamatan Kunduran dengan didukung 30 pos pelayanan, apabila diijinkan oleh Badan Pembina BKK Kabupaten Blora untuk membuka pos pelayanan di kota atau wilayah kecamatan lain dalam wilayah Kabupaten Blora diharapkan pangsa pasar kredit, penghimpunan dana dan total aktiva akan dapat meningkat. Disamping itu penurunan pangsa pasar penghimpunan dana dan pangsa pasar total aktiva juga sangat dipengaruhi oleh beroperasinya BPR-BPR baru seperti PD BPR Kabupaten Blora yang telah membuka 2 pos pelayanan dan beroperasinya BPR-BPR Swasta lain ke wilayah kecamatan Kunduran.

3.3.3. Pembahasan Intermediasi Dana
Tingkat intermediasi dana BPR BKK Kunduran dapat dihitung dengan membandingkan total kredit dengan total dana yang dihimpun, dalam hal ini juga disebut LDR atau Banking Ratio. Berdasarkan analisis di depan ternyata rata-rata LDR BPR BKK Kunduran lebih besar dari pada LDR Perbankan di Kabupaten Blora dan Perbankan di Jawa Tengah. Perbandingan antara Kredit yang diberikan terhadap penghimpunan dana bagi BPR BKK Kunduran pada tahun 1996 sebesar 134,45 % dan pada tahun 2000 sebesar 121,17 % dengan rata-rata 117,30 %.

LDR perbankan di Kabupaten Blora pada tahun 1996 sebesar 117,73 % dan tahun 2000 turun mejadi 64,53 % dengan rata-rata 83,51 %, sedangkan untuk perbankan di Jawa Tengah pada tahun 1996 sebesar 106,13 % dan tahun 2000 turun menjadi 38,53 %. Ini berarti bahwa pada tahun 1996 dan 1997 (karena LDR diatas 100%) baik BPR BKK Kunduran, Perbankan di Kabupaten Blora dan Perbankan di Jawa Tengah mampu mengintermediasi dana masyarakat untuk disalurkan dalam bentuk kredit kepada masyarakat, namun bila dilihat secara rata-rata selama 5 tahun terlihat hanya BPR BKK Kunduran yang mampu melaksanakan fungsi intermediasi dana secara baik, karena semua dana masyarakat dapat disalurkan dalam bentuk kredit, yaitu rata-rata penghimpunan dana sebesar Rp. 2.557.000.000 dan kredit yang disalurkan rata-rata Rp. 2.983.000.000,- Besarnya penyaluran kredit tersebut tidak diikuti dengan kemampuan yang cukup oleh BPR BKK Kunduran dalam menggali dana dari masyarakat, hal ini terlihat dari defisit penghimpunan dana sebesar Rp. 625.000.000,- pada tahun 1996 dan Rp. 686.000.000,- pada tahun 2000, artinya bahwa BPR BKK Kunduran kekurangan dana untuk membiaya kredit yang diberikan kepada masyarakat.

Kurangnya kemampuan BPR BKK Kunduran dalam menghimpun dana disebabkan oleh tingkat bunga deposito dan tabungan yang ditawarkan relatif masih rendah. Pada tahun 1998 rata-rata bunga tabungan BPR BKK Kunduran sebesar 19 %, tahun 1999 sebesar 13 % dan tahun 2000 sebesar 12%, dan rata-rata bunga deposito pada tahun 1998 sebesar 37%, tahun 1999 sebesar 15 % dan tahun 2000 sebesar 15 %, sedangkan rata-rata bunga tabungan dan deposito yang ditawarkan bank lain pada tahun yang sama lebih tinggi 2-5% pertahun. Semakin gencar promosi yang dilakukan BRI unit Kunduran dalam menjaring nasabah juga cukup berpengaruh terhadap penurunan kemampuan penghimpunan dana masyarakat serta beroperasinya bank-bank lain ke Kunduran, seperti BPR Duta Bhakti Insani yang berkantor di Kecamatan Cepu mengembangkan usahanya sampai ke Kecamatan Kunduran, membuat persaingan semakin ketat. Sementara itu BPR BKK Kunduran belum diijinkan oleh Badan Pembinan BKK untuk membuka pos-pos pelayanan di luar wilayah Kecamatan Kunduran sehingga ruang lingkup operasinya terbatas.

Share kredit yang diberikan oleh BPR BKK Kunduran terhadap PDRB, selama tahun 1996 sampai tahun 2000 rata-rata sebesar 0,424 % sedangkan bagi perbankan di Kabupaten Blora rata-rata 21,412 %, Ini berarti bahwa peranan kredit BPR BKK Kunduran rata-rata 0,424 % terhadap PBRB dan kredit perbankan yang ada di Kabupaten Blora sebesar 21,412 %. Sedangkan bila dilihat dari pertumbuhan terhadap share kredit, ternyata rata-rata pertumbuhan kredit BPR BKK Kunduran (0,138 %) lebih besar dari pada rata-rata pertumbuhan kredit yang diberikan oleh perbankan di Kabupaten Blora (0,111%), ini menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit BPR BKK Kunduran memberikan share lebih besar terhadap PDRB Kabupaten Blora dibandingkan perbankan yang ada di Kabupaten Blora.

Share penghimpunan dana dari masyarakat yang berhasil dihimpun oleh BPR BKK Kunduran terhadap PDRB Kabupaten Blora, rata-rata pertahun sebesar 0,364 %, sedangkan bagi perbankan di Kabupaten Blora rata-rata 28,681 %. Berarti bahwa dana masyarakat yang mampu dihimpun BPR BKK Kunduran rata-rata peranannya 0,364 % terhadap PBRB dan dana yang dihimpun oleh perbankan yang ada di Kabupaten Blora peranannya 28,681 %. Bila dilihat dari pertumbuhan share pendanaan, rata-rata pertumbuhan share pendanaan BPR BKK Kunduran (0,155 %) lebih kecil dibandingan dengan pada rata-rata pertumbuhan share pendanaan perbankan di Kabupaten Blora (0,323%), berarti peranan sumber dana BPR BKK Kunduran terhadap PDRB Kabupaten Blora masih rendah dibandingkan perbankan yang ada di Kabupaten Blora. Demikian pula halnya bila dilihat dari share total aktiva BPR BKK Kunduran terhadap PDRB Kabupaten Blora, rata-rata total aktiva pertahun adalah 0,520 %, sedangkan perbankan di Kabupaten Blora rata-rata 32,866 %. Ini berarti bahwa total aktiva BPR BKK Kunduran peranannya rata-rata 0,520 % terhadap PBRB dan total aktiva perbankan yang ada di Kabupaten Blora peranannya 32,866 %. Dilihat dari pertumbuhan share total aktiva, ternyata rata-rata pertumbuhan total aktiva BPR BKK Kunduran (0,126%) lebih kecil dari rata-rata pertumbuhan total aktiva perbankan di Kabupaten Blora (0,235%).
BACA SELENGKAPNYA - Contoh Tesis Bab III KINERJA KEUANGAN BPR BLORA

Contoh Tesis Bab II KINERJA KEUANGAN BPR BLORA

CONTOH BAB I
KINERJA KEUANGAN BANK PERKEREDITAN RAKYAT (BPR)
BKK KUNDURAN KABUPATEN BLORA

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN ALAT ANALISIS


2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan yang dipungut Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk kepentingan pengelolaan rumah tangga pemerintah Daerah. Berdasarkan pasal 4 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, ditegaskan bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari :

a. Hasil pajak daerah ;
b. Hasil retribusi daerah ;
c. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan;
d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.

Hasil perusahaan milik daerah yaitu berupa bagian laba dari BUMD semestinya menjadi sumber penting untuk Pendapatan Asli Daerah karena sumber penerimaan ini bisa diperoleh secara berkesinambungan sepanjang perusahaan daerah terus dapat menjalankan kegiatannya dan mampu menghasilkan keuntungan. Namun kenyataannya selama ini menunjukkan bahwa kemampuan perusahaan daerah dalam memberikan kontribusi pendapatan kepada pemerintah Daerah relatif rendah. Potensi penerimaan dari sumber ini sebenarnya cukup besar. Pengelolaan perusahaan Daerah yang belum profesional ditambah pula dengan adanya intervensi oleh pihak pemerintah Daerah umumnya menjadi penyebab rendahnya kontribusi tersebut. Perusahaan Daerah akan memberikan keuntungan secara signifikan apabila perusahaan daerah diberi kebebasan untuk menjalankan kegiatannya (Wahyudi, 2001)

2.1.2 Perusahaan Daerah
Hampir semua pemerintah daerah di dunia ini mendirikan perusahaan daerah, dengan berbagai pertimbangan ( Devas, 1989: 111) yaitu :
a. Menjalankan ideologi yang dianutnya bahwa sarana produksi milik masyarakat.
b. Melindungi konsumen dalam hal adanya monopoli alami, seperti angkutan umum atau telepon.
c. Dalam rangka pengambilalihan perusahaan asing.
d. Untuk menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan ekonomi daerah.
e. Dianggap cara yang paling “efisien” untuk menyediakan layanan publik.
f. Untuk menghasilkan penerimaan bagi pemerintah daerah.

Perusahaan daerah di Indonesia mungkin tidak terlalu berhasil seperti halnya di negara-negara lain, menurut Devas (1989: 112) mengemukakan beberapa kemungkinan penyebab perusahaan daerah kurang berhasil, yaitu :
a. Jenis layanan perusahaan itu tidak cocok untuk dikelola sebagai perusahaan.
b. Kegiatan itu sendiri memang sifatnya tidak dapat dikelola sebagai usaha niaga atau pasar setempat terlalu kecil
c. Susunan perusahaan daerah itu mungkin mengakibatkan satuan-satuan biaya makin tinggi, dibandingkan dengan biaya penyediaan layanan itu dari dalam bagian tubuh pemerintah daerah.
d. Tenaga pelaksana yang kurang cakap, mungkin karena tidak berpengalaman dibidang pelayanan tersebut dan mereka tahu pemerintah akan selalu menutup kerugian-kerugian yang diderita perusahaan yang bersangkutan.
e. Kesenjangan antara tujuan-tujuan yang harus dicapai perusahaan (misalnya antara mengejar laba atau memberikan layanan semurah-murahnya)

Salah satu tolok ukur dalam pengembangan perusahaan daerah adalah bahwa suatu perusahaan daerah harus mampu menebus seluruh biaya yang telah dikeluarkan dan bahkan memperoleh surplus, dengan demikian perusahaan daerah diharapkan menjadi sumber penerimaan daerah dan bukannya menguras penerimaan daerah.

Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 tahun 2000 tentang Pedoman Kerjasama Perusahaan Daerah dengan Pihak Ketiga, yang dimaksud dengan Perusahaan Daerah adalah suatu badan yang modalnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan dan pendiriannya diprakarsai oleh pemerintah Daerah, sedangkan yang yang dimaksud dengan Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat adalah Bank Perkreditan Rakyat milik pemerintah Daerah, yang modalnya baik seluruhnya maupun sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 44 tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat.

Tahun buku Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat (PD BPR) disamakan dengan tahun takwim dan sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 tahun 2000 tentang Pedoman Pengelolaan Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat menyebutkan bahwa laba bersih PD BPR setelah dipotong pajak yang disahkan oleh Kepala Daerah atau RUPS ditetapkan sebagai berikut :

a. Bagi PD BPR yang modalnya dimiliki oleh 1 (satu) Daerah
1. Bagian laba untuk Daerah 40 %
2. Cadangan umum 20 %
3. Cadangan tujuan 20 %
4. Dana kesejahteraan 10 %
5. Jasa Produksi 10 %
b. Bagi PD BPR yang modalnya dimiliki oleh lebih dari 1 (satu) Daerah
1. Bagian laba untuk Daerah 50 %
2. Cadangan umum 15 %
3. Cadangan tujuan 15 %
4. Dana kesejahteraan 10 %
5. Jasa Produksi 10 %

Laba untuk Pemerintah Daerah tersebut agar dianggarkan dalam ayat penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun anggaran berikutnya.

Menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 tahun 2000 di atas, Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat mempunyai tugas mengembangkan perekonomian dan menggerakkan pembangunan daerah melalui kegiatannya sebagai Bank Perkreditan Rakyat sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah, sedangkan fungsinya adalah :
a. Terhimpunnya dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan dan deposito berjangka.
b. Terselenggaranya pemberian kredit dan pelaksanaan pembinaan khususnya terhadap pengusaha kecil dan menengah.
c. Terlaksananya kerjasama antara perusahaan daerah Bank Perkreditan Rakyat dengan lembaga perbankan atau keuangan lainnya.
d. Menjalankan usaha perbankan lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Khusus di Propinsi Jawa Tengah, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan PT BPD Jateng membentuk Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan (BPR BKK) dengan besarnya saham masing-masing :
a. Pemerintah Daerah Propinsi Jateng sebesar 50 %
b. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebesar 35 %
c. PT BPD Jateng sebesar 15 %

Untuk mencukupi modal PD BPR BKK, setiap tahun anggaran pemilik wajib menyediakan dana yang bersumber dari APBD Propinsi Jawa Tengah, APBD Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan PT BPD Jateng sebagai modal disetor kepada PD BPR BKK, hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 30 Tahun 2000, tanggal 6 Desember 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Tingkat I Jawa Tengah Nomor 4 Tahun 1995 tentang Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 30 Tahun 2000 tersebut, pembagian laba tiap-tiap PD BPR BKK/BKK dihitung berdasarkan Perhitungan Rugi Laba yang telah diperiksa secara sah selanjutnya disahkan oleh Bupati/Walikota. Laba bersih (laba dikurangi pajak) dapat dibagikan setelah RUPS yang pelaksanaannya selambat-lambatnya bulan Maret pembagiannya sebagai berikut :

a. Deviden 50 %
b. Cadangan umum 12,5 %
c. Cadangan tujuan 12,5 %
d. Dana kesejahteraan 10 %
e. Jasa Produksi 10 %
f. Dana Pembinaan Umum 5 %
2.1.3 Pengertian bank

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Menurut Stuart ( Suyatno, dkk, 1999: 1) bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayaran sendiri atau dengan uang yang diperoleh dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral.

Dilihat dari fungsinya, definisi bank dapat dikelompokkan menjadi tiga (Suyatno, dkk, 1999: 1-2), yaitu :

a. Bank dilihat sebagai penerima kredit. Dalam pengertian ini bank menerima uang serta dana-dana lainnya dari masyarakat dan mencerminkan bahwa bank melaksanakan operasi perkreditan secara pasif dengan menghimpun uang dari pihak ketiga.
b. Bank dilihat sebagai pemberi kredit, ini berarti bank melaksanakan operasi perkreditan secara aktif, tanpa mempermasahkan apakah kredit tersebut berasal dari deposito atau tabungan yang diterimanya atau bersumber dari penciptaan kredit yang dilakukan oleh bank itu sendiri.
c. Bank dilihat sebagai pemberi kredit bagi masyarakat melalui sumber yang berasal dari modal, simpanan/tabungan masyarakat maupun melalui penciptaan uang bank.

2.1.4 Jenis dan usaha bank
Menurut Pasal 5 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, jenisnya bank terdiri dari bank umum dan bank perkreditan rakyat.

Usaha Bank Umum meliputi :
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan / atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
b. Memberikan kredit
c. Menerbitkan surat pengakuan uang
d. Membeli, menjual atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya.
e. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah;
f. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya.
g. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga.
h. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.
i. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan kontrak.
j. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.
k. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
l. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat.
m. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil.
n. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang.

Sedangkan usaha Bank Perkreditan Rakyat adalah :
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
b. Memberi kredit
c. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil.
d. Menempatkan dananya dalam bentuk sertifikat Bank Indonesia (SBI) deposito berjangka, sertifikat deposito dan/atau tabungan pada bank lain.
Bank umum memiliki kegiatan usaha yang lebih luas dibandingkan dengan Bank Perkreditan Rakyat, sehingga untuk membatasi kegiatan usahanya, Bank Perkreditan Rakyat dilarang untuk melakukan usaha-usaha sebagai berikut :
a. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran.
b. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.
c. Melakukan penyertaan modal.
d. Melakukan usaha perasuransian.

2.1.5 Tingkat kesehatan bank
Menurut Sutojo (1997:54-55) untuk mengevaluasi keberhasilan kegiatan bisnis bank umum, secara kuantitatif dapat dinilai dengan menggunakan enam macam tolok ukur, yaitu (a) Interest margin, (b)l Net Margin, (c) Assets utilization, (d) Return on Assets, (e) Return on equity dan (f) Earning per share. Walaupun sasaran yang ingin dicapai masing-masing bank berbeda, ada satu sasaran yang sama yang harus dicapai oleh bank manapun, yaitu mendapatkan keuntungan yang layak. Bank dapat dikatakan sehat apabila dapat menjaga keamanan dana masyarakat yang dititipkan kepada mereka, dapat berkembang dengan baik serta mampu memberikan sumbangan yang berarti terhadap perkembangan ekonomi nasional.

Supriyanto (2000: 16-19) melakukan rating terhadap 162 bank di Indonesia dengan mengacu pada neraca publikasi tahun 1998 dan 1999 sebagai bahan baku utama penilaian kinerja bank. Kriteria yang digunakan adalah likuiditas, rentabilitas, kualitas asset, efisiensi dan permodalan. Bank Metro Expres menempati rangking pertama dari hasil rating tersebut dengan predikat sangat bagus, sedangkan Bank Niaga menempati posisi terakhir dengan predikat tidak bagus.

Siswanto (1997:28-31) melakukan perbandingan performance BCA dan BNI dengan menggunakan neraca dan rugi laba publikasi 31 Desember tahun 1995 dan 1996. Perbandingan performance ini menggunakan rasio akun kas terhadap total asset, rasio likuiditas, LDR, ROA, pertumbuhan beban operasional, kualitas pinjaman. Kesimpulannya adalah dalam beberapa hal Bank BCA menggungguli Bank BNI, baik dari segi penghimpunan dana, kualitas pinjaman, maupun dari segi performance anak perusahaan. Dilain pihak, Bank BNI mampu mengungguli dalam hal pengelolaan assets and liabilities dan likuidity serta pengendalian valuta asing.

Bank Indonesia menetapkan ketentuan tentang kesehatan Bank dengan memperhatikan aspek permodalan, kualitas assets, kualitas manajemen, rentabilitas, likuiditas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha Bank sesuai Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.30/12/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 30/3/UPPB tanggal 30 April 1997. Pelaksanaan penilaian tingkat kesehatan bank, pada tahap pertama dilakukan dengan cara mengkuantifikasikan semua komponen yang termasuk dalam masing-masing faktor. Berdasarkan hal itu dilakukan penilaian lebih lanjut dengan memperhatikan informasi dari aspek-aspek lain yang mempengaruhi kondisi dan perkembangan masing-masing faktor. Sementara itu kuantitatif penilaian dilakukan dengan menggunakan system kredit (reward system) yaitu dengan memberikan nilai kredit dari 0 sampai 100 bagi masing-masing faktor dan komponen

Dalam melakukan kuantifikasi terhadap masing-masing faktor dan komponen diberikan bobot sesuai dengan besarnya pengaruh kesehatan Bank, seperti terlihat dalam tabel 2.1 berikut ini :

Tabel 2.1 Faktor-faktor Yang Dinilai dan Bobotnya
No Faktor Yang Dinilai Komponen Bobot
1 2 3 4
1
Permodalan
Rasio modal terhadap aktiva tertimbang menurut resiko
30 %
2 Kualitas Aktiva Produktif
a. Rasio aktiva produktif yang diklasifikasikan terhadap aktiva produktif
b. Rasio penyisihan penghapusan aktiva produktif yang dibentuk terhadap penyisihan penghapusan aktiva produktif yang wajib dibentuk
30 %
25 %
5 %
1 2 3 4
3 Manajemen
a. Manajemen Umum
b. Manajemen resiko 20 %
10 %
10 %
4
Rentabilitas
a. Ratio laba terhadap rata-rata volume usaha
b. Rasio biaya operasi terhadap pendapatan operasi. 10 %
5 %
5 %
5 Likuiditas
a. Rasio alat likuid terhadap hutang lancar
Rasio kredit terhadap dana yang diterima. 10 %
5 %
5 %
Sumber : Bank Indonesia, Surat Keputusan Direksi BI No. 30/12/KEP/DIR

Nilai kredit penilaian kuantitatif terhadap lima faktor beserta komponennya tersebut kemudian dijumlahkan, sehingga diperoleh penilaian faktor yang dikuantifikasikan. Selanjutnya nilai kredit tersebut dapat ditambah atau dikurangi dengan sanksi yang dikenakan. Berdasarkan nilai kredit secara keseluruhan tersebut, ditetapkan 4 golongan predikat tingkat kesehatan bank, yaitu sehat, cukup sehat, kurang sehat dan sehat.:

Predikat tingkat kesehatan bank yang sehat atau cukup sehat atau kurang sehat akan diturunkan menjadi tidak sehat apabila dijumpai salah satu atau lebih dari hal-hal sebagai berikut :
a. Perselisihan intern yang diperkirakan akan menimbulkan kesulitan dalam bank yang bersangkutan.
b. Campur tangan pihak-pihak di luar bank dalam pengurusan (manajemen) bank, termasuk didalamnya kerjasama yang tidak wajar yang mengakibatkan salah satu atau beberapa kantornya berdiri sendiri.
c. Window dressing dalam pembukuan dan atau laporan bank secara material dapat berpengaruh terhadap keadaan keuangan bank, sehingga mengakibatkan penilaian keliru terhadap bank.
d. Praktek “bank dalam bank” atau melakukan usaha bank di luar pembukuan bank.
e. Kesulitan keuangan yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak ketiga, atau
f. Praktek perbankan lain yang menyimpang yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Bank dan / atau menurunkan kesehatan bank.

2.2 Landasan Teori
Indikator-indikator yang penting digunakan dalam mengukur kinerja bank adalah indikator permodalan yang menunjukkan kecukupan modal suatu bank dalam mendukung kegiatan operasionalnya, semakin besar modalnya maka bank tersebut semakin baik, indikator kualitas aktiva yang menunjukkan bahwa kemampuan bank dalam memutar aktiva produktifnya, dan kemampuan manajemen bank di dalam mengelola asetnya untuk menghasilkan operating income maupun non operating income serta mengantisipasi dan mengatasi resiko yang ada, indikator rentabilitas untuk mengetahui sejauh mana kemampuan suatu bank didalam menghasilkan keuntungan baik berasal dari kegiatan operasi bank maupun dari hasil – hasil non operasionalnya serta mengukur sejauh mana efisiensi bank didalam mengumpulkan sumber dananya dan indikator likuiditas untuk menjaga kekuatan bank dari serangan rush. Dalam menganalisis Permodalan sering digunakan rasio Capital Adequacy Ratio (CAR) (Supriyanto, 2000 : 18; Sutojo, 1997:60, Muljono, 1996 : 437; Payamta dan Machfoedz, 1999 : 59), Kualitas aktiva produktif menggunakan ratio Kualitas aktiva produktif lancar terhadap aktiva produktif (Supriyanto, 2000:18), efisiensi menggunakan rasio Net Interest Margin dan rasio Biaya Operasi terhadap Pendapatan Operasi (Supriyanto, 2000 :18; Payamta dan Machfoedz, 1999 : 59; Muljono, 1996:435; Sutojo, 1997 : 55), Rentabilitas menggunakan rasio Return On Assets (ROA) dan Return On Equity (ROE), (Supriyanto, 2000 :18; Payamta dan Machfoedz, 1999:59; Muljono, 1996 :433; Sutojo, 1997 : 57), dan Likuiditas menggunakan rasio Loan to Deposits ratio (LDR) ( Supriyanto, 2000 :18; Payamta dan Machfoedz, 1999: 59; Muljono, 1996 :431; Sutojo, 1997:59).

Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas, maka dalam penelitian ini ditekankan pada penilaian kinerja keuangan BPR BKK Kunduran dengan menggunakan rasio Capital Adequacy Ratio (CAR) atau Kewajiban Penyediaan Minimum Bank (KPMM) yaitu rasio modal terhadap aktiva tertimbang menurut resiko untuk menilai permodalan, rasio aktiva produktif yang diklasifikasikan terhadap aktiva produktif dan rasio penyisihan penghapusan aktiva produktif yang dibentuk terhadap penyisihan penghapusan aktiva produktif yang wajib dibentuk untuk menilai faktor kualitas aktiva produktif, penilaian terhadap manajemen umum dan manajemen resiko, rasio laba terhadap rata-rata volume usaha (Return On Assets) dan rasio biaya operasi terhadap pendapatan operasional (BOPO) untuk menilai faktor rentabilitas, rasio alat likuid terhadap hutang lancar dan rasio kredit terhadap dana yang diterima (Loan to Deposits Ratio) yang digunakan untuk menilai faktor likuiditas serta mengukur peranan intermediasi dananya.

2.3. Hipotesis
Sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian di atas maka hipotesis penelitian dinyatakan sebagai berikut :
1. Kinerja keuangan BPR BKK Kunduran tergolong kedalam predikat Sehat sesuai dengan kriteria penilaian tingkat kesehatan Bank Perkreditan Rakyat yang ditentukan oleh Bank Indonesia dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/12/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 30/3/UPPB tanggal 30 April 1997.
2. Pangsa pasar BPR BKK Kunduran terhadap perbankan di Kabupaten Blora dan perbankan se Jawa Tengah dari tahun ketahun semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi untuk semua variabel yaitu aktiva, dana masyarakat yang dihimpun dan kredit yang diberikan kepada masyarakat.
3. Loan to Deposit Ratio (LDR) BPR BKK Kunduran rata-rata lebih rendah dari LDR perbankan yang ada di Kabupaten Blora dan perbankan se Propinsi Jawa Tengah. Demikian pula halnya dengan rata-rata pertumbuhan share-nya terhadap PDRB Kabupaten Blora.

2.4 Alat analisis
Alat analisis yang digunakan untuk mengetahui kinerja keuangan BPR BKK Kunduran, pangsa pasar BPR BKK Kunduran dan pengaruh Loan to Deposit Ratio (LDR) serta share-nya terhadap PDRB Kabupaten Blora.

2.4.1 Evaluasi Kinerja Keuangan Bank
Dalam mengevaluasi kinerja keuangan BPR BKK Kunduran digunakan indikator penilaian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, yaitu berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/12/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 30/3/UPPB tanggal 30 April 1997. Adapun faktor-faktor yang dinilai adalah permodalan, kualitas aktiva produktif, manajemen, rentabilitas dan likuiditas serta pelanggaran terhadap Batas Maksimum Pemberian Kredit, sebagai berikut :

a. Penilaian Permodalan
Penilaian terhadap faktor permodalan didasarkan pada rasio modal terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) sebagaimana yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/2/BPPP tanggal 29 Mei 1993 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank (KPMM) bagi BPR. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank (KPMM) dapat dihitung sebagai berikut :

Modal
K P M M =
Aktiva Tertimbang Menurut Resiko(ATMR)

Rasio ini menunjukkan kecukupan permodalan suatu bank di dalam mendukung kegiatan operasinya (Muljono, 1996:437)

b. Penilaian Kualitas Aktiva Produktif
Penilaian terhadap faktor Kulaitas Aktiva Produktif (KAP) didasarkan pada rasio-rasio berikut :
Rasio Aktiva Produktif yang Diklasifikasikan (APD) terhadap aktiva produktif
Rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang dibentuk (PPAP) terhadap Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang Wajib Dibentuk (PPAPWD) oleh bank

c. Penilaian Terhadap Faktor Manajemen
Penilaian kuantitatif terhadap faktor manajemen mencakup 2 (dua) komponen yaitu manajemen umum dan manajemen resiko dengan menggunakan pertanyaan/pernyataan sebanyak 25 terdiri atas 10 pertanyaan/pernyataan manajemen umum dan 15 pertanyaan/pernyataan manajemen resiko. Pertanyaan/pernyataan manajemen umum mencakup mengenai strategi/sasaran rencana kerja tahunan, struktur organisasi, batasan dan wewenang, sistem operasional, sistem pengawasan dan sistem pengamanan serta kepemimpinan. Pertanyaan/pernyataan manajemen resiko mencakup resiko likuiditas, resiko kredit, resiko operasional, resiko hukum dan resiko pemilikan serta pengurus.

d. Penilaian Faktor Rentabilitas
Penilaian kuantitatif terhadap faktor rentabilitas didasarkan pada 2 (dua) rasio yaitu :
Rasio Laba sebelum Pajak dalam 12 bulan terakhir terhadap rata-rata volume usaha atau disebut Return on Assets (ROA) dan rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)
Laba sebelum pajak dalam 12 bulan terakhir
ROA =
Rata-rata Volume Usaha dalam 12 bulan terakhir


Biaya Oprasional dalam 12 bulan terakhir
BOPO =
Pendapatan Operasional dalam 12 bulan terakhir
Rasio ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan suatu bank di dalam menghasilkan keuntungan baik berasal dari kegiatan operasional bank yang bersangkutan maupun dari hasil nonoperasionalnya dari mengoperasikan harta bank dan rasio ini sekaligus menggambarkan efisiensi kerja bank yang bersangkutan (Sutojo, 1997 : 57)

e. Penilaian Faktor Likuiditas
Penilaian terhadap faktor likuiditas didasarkan pada 2 (dua) rasio yaitu :
Rasio Alat Likuid terhadap Hutang Lancar, dan
Rasio Kredit terhadap Dana Yang Diterima oleh Bank
Rasio likuiditas menunjukkan kemampuan suatu bank di dalam menyediakan dana kepada debiturnya dengan dana yang dimiliki oleh bank yang dapat dikumpulkan dari masyarakat ( Muljono, 1996:431).

f. Penilaian Terhadap Pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)
Pelaksanaan ketentuan yang sanksinya dikaitkan dengan penilaian tingkat kesehatan bank adalah pelanggaran terhadap ketentuan BMPK. Pelanggaran BMPK dihitung berdasarkan jumlah kumulatif pelanggaran BMPK kepada debitur individual, debitur kelompok dan pihak terkait dengan bank, terhadap modal bank. Pelanggaran tersebut mengurangi nilai kredit hasil penilaian tingkat kesehatan dengan perhitungan sebagai berikut:
Untuk setiap pelanggaran BMPK, nilai kredit dikurangi 5, dan untuk setiap 1% pelanggaran BMPK nilai kredit dikurangi lagi dengan 0,05 dengan maksimum 10.

Dari nilai rasio-rasio diatas kemudian dihitung nilai kreditnya. Penentuan nilai kredit dapat dilakukan berdasarkan tabel 2.2 berikut :

Tabel 2.2 Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat

No FAKTOR YANG DINILAI
KOMPONEN
NILAI RASIO
NILAI KREDIT
Bobot
1 2 3 3 4 5
1
Permodalan
Rasio modal terhadap aktiva tertimbang menurut resiko
(KPMM)
Bila 8 % keatas
Bila kurang 8% sampai 7,9%
Bila kurang dari 7,9%


Nilai Kredit 81 dan setiap kenaikan rasio 0,1 % dari 8 % nilai kredit ditambah 1 sampai maksimum 100

Nilai Kredit 65

Nilai kredit dikurangi 1 untuk setiap penurunan rasio 0,1 % sampai minimum nilai kredit 0
25 %

2 Kualitas Aktiva Produktif
a.Rasio aktiva produktif yang diklasifikasi-kan terhadap aktiva produktif

Rasio 22,5 % keatas

Rasio 22,5 % kebawah

Nilai kredit 0


Setiap penurunan rasio 0,15 mulai dari 22,5% nilai kredit ditambah 1 sampai maksimum 100
30 %
25 %


1 2 3 3 4 5

b. Rasio penyisihan penghapusan aktiva produktif yang dibentuk terhadap penyisihan penghapusan aktiva produktif yang wajib dibentuk
Rasio 0 %
Nilai kredit 0, setiap kenaikan rasio 1 % dimulai dari 0% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100
5 %

3
Manajemen


a. Manajemen Umum

b. Manajemen resiko



-


-



Terdiri dari 25 pertanyaan dengan skala nilai untuk setiap pertanyaan:
Nilai 0 mencerminkan kondisi lemah.
Nilai 1,2 dan 3 mencerminkan kondisi antara.Nilai 4 mencer-minkan kondisi baik
20 %

10 %


10 %

4
Rentabilitas


a. Ratio laba terhadap rata-rata volume usaha




b. Rasio biaya operasi terhadap pendapatan operasi.



Rasio 0 % atau negatif






Rasio 100 % atau lebih


Nilai kredit 0


Untuk setiap kenaikan rasio 0,015 % mulai dari 0% nilai kredit ditambah 1 maksimum 100.

Nilai kredit 0

Untuk setiap penurunan rasio 0,08 % nilai kredit ditambah 1 maksimum 100
10 %

5 %






5 %

5
Likuiditas


a.Rasio alat likuid terhadap hutang lancar


Rasio 0 %


Nilai kredit 0
Setiap kenaikan rasio 0,05% nilai kredit ditambah 1 maksimum 100
10 %

5 %




b. Rasio kredit terhadap dana yang diterima Rasio 115 % atau lebih Nilai kredit 0

Untuk setiap penurunan rasio 1 % mulai dari 115% nilai kredit ditambah 4 dengan maksimum 100 5 %
Sumber : Bank Indonesia, SK Direksi BI No. 30/12/KEP/DIR, diolah.

Atas dasar nilai kredit dari faktor-faktor yang dinilai sebagaimana tabel di atas diperoleh nilai kredit gabungan, setelah dikurangi dengan nilai kredit akibat pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) diperoleh hasil penilaian kesehatan. Penilaian tingkat kesehatan ditetapkan dalam empat golongan sebagai berikut :
a. Nilai kredit 81 sampai dengan 100 diberi predikat Sehat
b. Nilai kredit 66 sampai dengan kurang dari 81 diberi predikat Cukup Sehat
c. Nilai kredit 51 sampai dengan kurang dari 66 diberi predikat Kurang Sehat
d. Nilai 0 sampai dengan kurang dari 51 diberi predikat Tidak Sehat.

2.4.2 Pangsa Pasar (Market Share) Bank
Pangsa pasar (market share) BPR BKK Kunduran terhadap perbankan yang ada di Kabupaten Blora dan perbankan se Jawa Tengah dapat dihitung dengan menggunakan formula market share (Umar,2000:156-157) sebagai yang telah dimodifikasi, sebagai berikut :

a. Market Share Kredit (MSK)
Jumlah pinjaman yang direalisir
MSK =
Total pinjaman yang diberikan oleh bank-bank
Yang beroperasi dalam batas-batas koordinasi
Bank Indonesia setempat atau data kota setempat

b. Market Share Penghimpunan Dana (MSPD)
Total dana masyarakat yang dihimpun
MSPD =
Total dana masyarakat yang dihimpun dari bank-bank
yang beroperasi dalam batas-batas koordinasi
Bank Indonesia setempat atau data kota setempat

c. Market Share Total Aktiva (MSTA)
Total Aktiva
MSTA =
Total aktiva dari bank-bank yang beroperasi
dalam batas-batas koordinasi Bank Indonesia
setempat atau data kota setempat

2.4.3 Intermediasi Dana
Intermediasi dana BPR BKK Kunduran dapat dihitung dengan membandingkan Loan to Deposit Ratio(LDR) BPR BKK Kunduran dengan LDR perbankan yang ada di Kabupaten Blora dan perbankan se Propinsi Jawa Tengah. Adapun rasio LDR atau Banking Ratio (Muljono,1996:431) adalah sebagai berikut :

Total Kredit
L D R =
Total Dana Yang dihimpun

Selanjutnya, dilakukan analisis share (kedalaman) terhadap PDRB Kabupaten Blora. Untuk menganalisis ini digunakan modifikasi formula Partial Indeks yang dikemukan oleh Jaya dan Wanto (1998 : 43) sebagai berikut :

NVi
Si = , dimana :
PDRB
Si = share bank ke-i, adalah share BPR BKK Kunduran
NVi = nilai variabel dari bank ke-i, yaitu total aktiva, besarnya dana pihak ketiga dan besarnya kredit yang diberikan, merupakan total aktiva, besarnya dana yang dapat dihimpun dari masyarakat dan besarnya kredit yang disalurkan oleh BPR BKK Kunduran
PDRB = PDRB berdasarkan harga konstan
BACA SELENGKAPNYA - Contoh Tesis Bab II KINERJA KEUANGAN BPR BLORA

Contoh Tesis Bab I KINERJA KEUANGAN BPR BLORA

CONTOH BAB I
KINERJA KEUANGAN BANK PERKEREDITAN RAKYAT (BPR)
BKK KUNDURAN KABUPATEN BLORA

BAB I
PENGANTAR


1.1 Latar Belakang
Berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, pemerintah Daerah memiliki keleluasaan dalam pengambilan keputusan serta mempunyai kewenangan luas dalam upaya mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Pemerintah Daerah dituntut untuk mampu mengelola pemerintahan secara mandiri dengan memberdayakan sumber-sumber yang dimiliki dan penggunaannya harus berpihak pada kepentingan masyarakat banyak dan mampu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.

Kebijakan pelaksanaan otonomi Daerah yang nyata, dinamis dan serasi memberikan peluang kepada Daerah untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintah sebagai urusan rumah tangganya sendiri, namun dengan adanya kebijakan otonomi Daerah dimungkinkan akan memunculkan permasalahan baru berupa kemampuan Daerah untuk membiayai seluruh operasionalnya dalam rangka pelaksanaan otonomi Daerah itu sendiri, sehingga kemampuan keuangan Daerah akan menjadi perhatian khusus dalam pelaksanaan otonomi Daerah. Keadaan ini menjadi salah satu kelemahan pemerintah Daerah, dimana pemerintah Daerah tidak mampu menyediakan barang publik berupa fasilitas pelayanan sosial, peningkatan pendapatan masyarakat dan perkembangan teknologi di Daerah serta infrastruktur lainnya. Kondisi seperti ini membuat lingkungan bisnis menjadi tidak menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya di Daerah.

Pemerintah Daerah dituntut lebih jeli dalam menggali dan mengembangkan potensi ekonomi agar dapat meningkatakan Pendapatan Asli Daerah guna mendukung pembiayaan otonomi Daerah tersebut. Kapabilitas bisnis dan masyarakat harus diperkuat yang otomatis akan memperkuat kapabilitas pemerintah Daerah, sehingga akan mampu menumbuhkan kemandirian Daerah dalam melaksanakan otonomi Daerah dan tidak tergantung lagi dengan bantuan pusat atau dana alokasi umum (DAU). Keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan fungsinya tercermin dari keberhasilan pembangunan ekonomi Daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang secara langsung dapat dirasakan oleh masyarakat, hal ini akan tercapai apabila pemerintah Daerah mampu menggali potensi ekonomi yang dapat memberikan efek pengganda terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD ).

Keinginan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah harus dilakukan dengan kerangka yang jelas berupa penyeimbangan aturan-aturan tanpa harus merugikan sektor bisnis, sehingga tidak merusak iklim bisnis dimana pajak dan retribusi dinaikkan hanya untuk mengejar peningkatan PAD, akibatnya investor takut untuk menanamkan modalnya.

Pendapatan Asli Daerah menurut Undang-undang No. 22 tahun 1999 terdiri dari: 1) Pajak Daerah, 2) Retribusi Daerah, 3) Hasil Perusahaan Milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, serta 4) Lain-lain pendapatan asli dari yang sah, merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah. Semua komponen Pendapatan Asli Daerah tersebut hendaknya dapat digali secara optimal sehingga pemerintah Daerah mampu membiayai kegiatan pembangunan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Kinerja pembangunan ekonomi Kabupaten Blora ditinjau dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Laju Inflasi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), terlihat sebagaimana tabel 1.1 berikut ini.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Blora selama lima tahun terakhir, dari TA 1995/1996 sampai dengan TA 1999/2000 cenderung meningkat dengan rata-rata peningkatannya sebesar 14,42% pertahun, sedangkan rata-rata inflasinya 14,99 % dengan rata-rata peningkatannya 87,30% pertahun, berarti peningkatan PAD ini masih dibawah peningkatan laju inflasi sehingga peningkatan PAD tidak mencerminkan kondisi yang riil. Peningkatan PAD terbesar terjadi pada TA 1998/1999 yaitu 27,73 % dan pada TA 1999/2000 mengalami penurunan sebesar 1,91 %. Laju inflasi tertinggi terjadi pada TA 1998/1999 sebesar 32,07%, namun kenaikan inflasi tertinggi terjadi pada TA 1997/1998 sebesar 483,15%. APBD Kabupaten Blora selama lima tahun terakhir dari TA 1995/1996 sampai dengan TA 1999/2000 rata-rata peningkatannya 40,95%, peningkatan terbesar terjadi pada TA 1998/1999 yaitu 74,37% dan peningkatan terkecil sebesar 13,18 % pada TA 1996/1997. Kontribusi PAD terhadap APBD terbesar 17,83 % terjadi pada TA 1996/1997 dan terkecil 7,54% pada TA 1999/2000. Secara rata-rata kontribusi PAD terhadap APBD dari TA 1995/1996 sampai dengan TA 1999/2000 sebesar 13,49 %, ini menunjukkan kemampuan keuangan Daerah Kabupaten Blora untuk membiayai kegiatan pembangunan dari PAD rata-rata sebesar 13,49 % saja dan kemampuan ini cenderung menurun setiap tahunnya.

Peningkatan PAD Kabupaten Blora dapat digali dari hasil perusahaan milik Daerah dan pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, bila Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dikelola secara profesional, efisien dan efektif maka akan dapat memberikan kontribusi yang cukup besar bagi PAD, tetapi apabila tidak dikelola dengan baik tentu akan menjadi beban berat bagi pemerintah Daerah Kabupaten Blora. BUMD yang sahamnya dimiliki oleh pemerintah Daerah Kabupaten Blora dan berada diwilayah Kabupaten Blora sampai awal tahun 2001 terdiri dari :
- Perbankan
- Percetakan
- Apotik
- Perusahaan Daerah Air Minum

Keempat jenis BUMD di atas yang memberikan kontribusi terbesar adalah laba perbankan, namun sumbangan ini lebih banyak dihasilkan oleh BPD Jawa Tengah. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.2 berikut ini.

Pada tabel 1.2 terlihat bahwa kontribusi laba BUMD terhadap PAD selama periode waktu TA 1995/19996 sampai 1999/2000 rata-rata hanya 3 % pertahun dan cenderung menurun setiap tahunnya, dengan kata lain laba BUMD hanya mampu memberikan kontribusi 3% saja dari total PAD yang dihasilkan oleh Kabupaten Blora. Kontribusi terbesar dari komponen laba BUMD terhadap PAD diperoleh dari sektor perbankan, namun kontribusi yang diberikan oleh komponen laba BPR BKK masih sangat kecil. Kontribusi laba BPR BKK selama lima tahun mulai TA 1995/1996 sampai TA 1999/2000 rata-rata menyumbang 21,07 % terhadap bagian laba BUMD dan rata-rata menyumbang 0,59 % terhadap total PAD, walaupun kontribusi laba BPR BKK terhadap bagian laba BUMD dan terhadap total PAD kecenderungannya meningkat namun nilainya masih sangat kecil, sebagaimana terlihat dalam tabel 1.3 berikut ini.

Kemampuan BPR BKK dalam menghimpun dana masyarakat dari tahun 1997 sampai tahun 2000 cenderung menurun rata-rata hanya 7,10% pertahun dari perbankan yang ada di Kabupaten Blora, sedangkan kemampuan BPR BKK dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat cenderung meningkat rata-rata 10,72 % pertahun dari kemampuan perbankan yang ada di Kabupaten Blora. Perbandingan antara jumlah dana yang dihimpun dan kredit yang disalurkan oleh BPR BKK terhadap perbankan yang ada di Kabupaten Blora dapat dilihat sebagaimana Tabel 1.4 berikut ini :

Kondisi tersebut menunjukkan BPR BKK lebih berhasil dalam menyalurkan kredit dibandingkan dengan menghimpun dana masyarakat, sehingga peran intermediasi dana bagi BPR BKK lebih baik dibandingkan perbankan yang ada di Kabupaten Blora. Jumlah bank di Kabupaten Blora sampai akhir tahun 2000 terdiri dari 4 kantor cabang bank umum dengan 8 kantor cabang pembantu dan 19 kantor BPR.

Selama tahun 1997 sampai tahun 2000 terjadi peningkatan peranan penghimpunan dana terhadap PDRB Kabupaten Blora, namun secara rata-rata peranan tersebut masih rendah hanya 2,25 % pertahun, demikian pula halnya dengan perananan penyaluran kredit kepada masyarakat terhadap PDRB Kabupaten Blora secara rata-rata hanya sebesar 2,45 % pertahun. Kemampuan BPR BKK dalam menghimpun dana masyarakat serta penyalurannya dalam bentuk kredit terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Blora, terlihat pada tabel 1.5 berikut:

BPR BKK sebagai bentuk usaha perbankan yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan Daerah cukup beralasan, karena usaha perbankan ini menyebar di 14 Kecamatan dari 16 Kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Blora. Keberadaan BPR BKK di Kabupaten Blora masih cukup dipercaya oleh masyarakat karena BPR BKK sebagai bank milik pemerintah Daerah. BPR BKK Kunduran merupakan salah satu dari 14 BPR BKK yang ada di Kabupaten Blora dan tergolong paling besar dalam perolehan laba. Laba yang diperoleh BPR BKK Kunduran (dalam ribuan rupiah) pada akhir tahun 2000 sebesar Rp. 107.568,- kemudian disusul oleh BPR BKK Jepon sebesar Rp 89.926,- dimana laba untuk seluruh BPR BKK adalah Rp. 487.919,- sehingga proporsi laba BPR BKK Kunduran terhadap laba bersih seluruh BPR BKK yang ada di Kabupaten Blora adalah sebesar 22,05 %, kemudian disusul BPR BKK Jepon sebesar 18,43 %. Fenomena ini menarik untuk diteliti dan menjadi permasalahan pokok pada penelitian ini yaitu masalah kinerja keuangan BPR BKK Kunduran dalam meningkatkan laba serta meningkatkan peranan intermediasi dana bagi pembangunan ekonomi Daerah, sehingga diharapkan dapat meningkatkan PAD bagi pemerintah Daerah Kabupaten Blora sebagai salah satu pemilik modal.

Penelitian ini dibatasi pada aspek usaha BPR BKK Kunduran saja dalam peranannya terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah dan fungsi intermediasi dana. Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan bahwa; “Sejauh mana KINERJA KEUANGAN BANK PERKEREDITAN RAKYAT BKK KUNDURAN dalam menghasilkan laba sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah dalam mendukung otonomi Daerah serta meningkatkan fungsi sumber dana bagi pembangunan ekonomi Daerah”

1.2 Keaslian Penelitian
Penelitian yang berkaitan dengan kinerja bank telah banyak dilakukan baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Beberapa penelitian yang dilakukan di luar negeri seperti Kim, dkk (1997) melakukan studi komparatif tentang kinerja bank umum di Korea Selatan dan Amerika Serikat selama kurun waktu tahun 1991 sampai dengan tahun 1993 untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan. Variabel yang digunakan adalah Return on Assets (ROA) dan Return On Equity (ROE) sedangkan alat analisis yang digunakan adalah alat analisis statistika. Hasil penelitian menunjukan bahwa keuntungan bank di Korea Selatan menurun sedangkan bank di Amerika Serikat, hal ini terjadi karena penurunan tingkat bunga dan kenaikan cadangan kerugian pinjaman yang disebabkan oleh liberalisasi perbankan di Korea Selatan mempengaruhi keuntungan bank-bank tersebut.

Michael (2000) melakukan penelitian terhadap 228 bank yang memiliki asset di atas 1 juta dollar pada tanggal 31 Desember 1999. Penelitian ini me-rating 100 bank dengan menggunakan Return of Earning (ROE) yang terbesar dan dimasukan dalam kriteria kinerja terbaik. Digunakan ROE sebagai dasar seleksi karena bank-bank ini mendapat respect yang kecil dari pasar tetapi justru mendapatkan tempat yang besar dari returns on equity dan bukan dari net interest margin. Bank of NY Company, New York menempati peringkat pertama dengan ROE 34,00 % sedangkan Commerce Bancshares, Kansas City menempati peringkat 100 dengan ROE 15,40 %.

Di Indonesia penelitian dilakukan oleh Supriyanto (2000) dengan melakukan rating 162 bank, kriteria penilaian yang digunakan adalah likuiditas, rentabilitas, kualitas aset, effisiensi dan permodalan. Rating ini mengacu pada neraca publikasi bank selama tahun 1998 dan 1999 sebagai bahan baku utama penilaian dan menghasilkan pelbagai bank dengan predikat sangat bagus, bagus, cukup bagus dan tidak bagus. Penelitian ini menghasilkan 10 bank terbaik berdasarkan beberapa kelompok bank, yaitu berdasarkan status bank devisa dan nondevisa, berdasarkan kepemilikan, berdasarkan modal disetor dan berdasarkan asset serta merating bank-bank go public dan bank-bank yang ikut program rekapitulasi.

Purwanto (2000) menganalisis pengaruh volume kredit, kredit macet, Loan to Deposit Ratio (LDR), Interest Margin dan inflasi terhadap rentabilitas BPR BKK/BKK di Jawa Tengah dengan membandingkan kelompok nasabahnya yaitu nelayan, petani dan buruh industri. Data yang digunakan adalah data sekunder dari tahun 1995 sampai tahun 1999 dengan alat analisis regresi. Hasil estimasi memperlihatkan kemampuan untuk menghasilkan rentabilitas pada BPR BKK/BKK dengan kelompok nasabah berbeda (nelayan, petani dan buruh industri) variabel yang mempengaruhi juga berbeda. Pada BPR dengan kelompok nasabah nelayan dipengaruhi oleh LDR dan Interest Margin. Pada BPR dengan kelompok nasabah petani dipengaruhi oleh bad debt/kredit, LDR dan Interest Margin sedangkan pada BPR dengan kelompok nasabah buruh industri dipengaruhi oleh volume kredit, bad debt, LDR, Interest Margin dan Inflasi.

Payamta dan Machfoedz (1999) melakukan evaluasi kinerja perusahaan perbankan sebelum dan sesudah menjadi perusahaan publik di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Alat analisis yang digunakan untuk menilai kinerja sebuah bank adalah CAMEL, yakni sehimpun indikator yang berunsur variabel-variabel Capital Adequacy, Assets quality, Management, earning dan Liquidity. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis tentang rasio-rasio CAMEL pada laporan keuangan bank-bank yang go public antara tahun-tahun sebelum dan sesudah initial offering (IPO), maka disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kinerja bank yang signifikan untuk tahun-tahun sebelum dan sesudah IPO.

Heliati (1997) mengevaluasi laba BUMD Bank Karya Produksi Desa Kabupaten Dati II Bandung, dari penelitian ini diketahui bahwa Bank Karya Produksi Desa masih lebih baik dibandingkan dengan bank lain, namun bila dilihat dari CAR relatif sama dengan bank-bank lain, sehingga perlu menambah modal sendiri. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa volume kredit mempunyai keeratan terhadap besarnya laba bank.

Riyantono (2001) meneliti tentang kinerja Perusahaan Daerah BPR Bank Pasar Kabupaten Bantul Tahun 1995-1999. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama periode analisis per 31 Desember, PD BPR Bank Pasar berpredikat sehat ditinjau dari kesehatan bank akan tetapi beberapa hal masih perlu mendapatkan perhatian untuk diadakan pembenahan, terutama faktor-faktor yang berkaitan dengan manajemen. Penguasaan pangsa pasarnya yang diwakili oleh jumlah aktiva dan dana yang terhimpun serta kredit masih kalah bersaing dengan bank-bank sejenis lainnya.

Mengacu pada penelitian tersebut maka penelitian ini merupakan replikasi dari pemikiran yang terdapat dalam penelitian di atas. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, perbedaannya adalah dalam hal obyek penelitian, daerah penelitian, periode waktu penelitian, variabel penelitian, alat analisis yang digunakannya. Perbedaan lainnya adalah dalam penelitian ini melihat aspek intermediasi dana untuk menunjang pertumbuhan ekonomi Daerah. Persamaannya adalah meneliti kinerja keuangan bank dengan menggunakan rasio-rasio CAMEL.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui kinerja keuangan BPR BKK Kunduran dengan menggunakan kriteria penilaian tingkat kesehatan Bank dari Bank Indonesia, sesuai Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/12/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 30/3/UPPB tanggal 30 April 1997 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat. Faktor-faktor yang dinilai adalah permodalan, kualitas aktiva produktif, manajemen, rentabilitas dan likuiditas.

2. Mengetahui sejauhmana pangsa pasar (market share) BPR BKK Kunduran terhadap perbankan yang ada di Kabupaten Blora dan perbankan se Propinsi Jawa Tengah. Pangsa pasar ini meliputi aktiva, dana yang dapat dihimpun dari masyarakat (funding) dan kredit yang diberikan kepada masyarakat (lending).

3. Mengetahui intermediasi dana BPR BKK Kunduran dengan membandingkan Loan to Deposit Ratio-nya (LDR) terhadap LDR perbankan yang ada di Kabupaten Blora dan perbankan se Propinsi Jawa Tengah, selain itu untuk mengetahui share-nya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Blora.

1.3.2 Manfaat penelitian
1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah Daerah Kabupaten Blora mengenai kinerja keuangan BPR BKK Kunduran, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam upaya pembinaan dan pembenahan perusahaan Daerah serta digunakan dalam penetapan kebijaksanaan pemerintah Daerah dalam upaya pengembangan perusahaan-perusahaan Daerah, khususnya sektor perbankan.

2. Sebagai masukan dan dorongan kepada manajemen, badan pengawas BPR BKK Kunduran dan badan pembina BKK Kabupaten Blora untuk terus meningkatkan kinerja keuangan BPR BKK Kunduran dan BPR BKK lainnya, sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap Pendapatan Asli Daerah

3. Sebagai masukan kepada direksi BPR BKK Kunduran dalam meningkatkan intermediasi dana sebagai penggerak perekonomian Daerah.

4. Bagi penulis, penelitian ini memberikan kesempatan untuk menambah dan menerapkan ilmu yang diperoleh selama dibangku kuliah dan diharapkan bermanfaat untuk penelitian selanjutnya.

1.4 Sistematika Penulisan

Tesis ini, disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I Pengantar, berisi latar belakang, keaslian penelitian, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka dan Alat Analisis, pada bab ini diuraikan mengenai tinjauan pustaka yang berhubungan dengan Pendapatan Asli Daerah, perusahaan Daerah, pengertian bank, jenis dan usaha bank, tingkat kesehatan bank, landasan teori dan hipotesis serta alat analisis. Bab III Analisis Data, berisi cara penelitian, deskripsi hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian. Bab IV Kesimpulan dan Saran, pada bab ini berisi uraian mengenai kesimpulan dan saran berdasarkan hasil analisis dan pembahasan.


BACA SELENGKAPNYA - Contoh Tesis Bab I KINERJA KEUANGAN BPR BLORA