ANALISIS SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
KABUPATEN ALOR PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS



2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pengertian Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah
Sebelum menguraikan sistem pengelolaan keuangan daerah terlebih dahulu dikemukakan pendapat mengenai pengertian sistem itu sendiri. Adapun pengertian sistem menurut W. Gerald Cole adalah suatu kerangka dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan yang disusun sesuai dengan suatu skema yang menyeluruh, untuk melaksanakan suatu kegiatan atau fungsi utama dari suatu organisasi, sedangkan prosedur adalah suatu urut-urutan pekerjaan kerani (clerical), biasanya melibatkan beberapa orang dalam satu bagian atau lebih, disusun untuk menjamin adanya perlakuan yang seragam terhadap transaksi-transaksi yang terjadi dalam suatu organisasi (lihat Baridwan, 1991; 3 ).

Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka salah satu unsur yang paling penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah adalah sistem atau cara pengelolaan keuangan daerah secara berdayaguna dan berhasilguna. Hal tersebut diharapkan agar sesuai dengan aspirasi pembangunan dan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang akhir-akhir ini.

Dilihat dari aspek masyarakat (customer) dengan adanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik maka dapat meningkatnya tuntutan masyarakat akan pemerintah yang baik, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk bekerja secara lebih efisien dan efektif terutama dalam menyediakan layanan prima bagi seluruh masyarakat. Dilihat dari sisi pengelolaan keuangan daerah khususnya Penerimaan Daerah Sendiri (PDS) maka kontribusi terhadap APBD meningkat tiap tahun anggaran hal ini didukung pula dengan tingkat efektivitas dari penerimaan daerah secara keseluruhan sehingga adanya kemauan dari masyarakat untuk membayar kewajibannya kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Alor dalam bentuk pajak dan retribusi.

Aspek sumber daya manusia (SDM) adanya kemampuan aparat pengelola walaupun belum memadai dalam jumlah sesuai dengan kebutuhan tiap unit/satuan kerja daerah tetapi dalam pengelolaan keuangan daerah dapat memberikan pelayanan yang sebaik mungkin kepada masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi penerimaan daerah sendiri serta tingkat efektivitas dan efisiensi yang semakin meningkat tiap tahun anggaran namun demikian perlu ada pembenahan dalam arti daerah harus memanfaatkan kewenangan yang diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pasal 76 yaitu daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan dan kesejahteraan pegawai serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000, tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dalam ketentuan umumnya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Selanjutnya dalam pasal 4 dan 5 dikatakan pula bahwa, pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu.

Ada beberapa hal dalam proses pengelolaan keuangan daerah.

2.1.1.1 Tujuan pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur keuangan daerah itu sendiri dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah menurut (Devas, dkk., 1987; 279-280) adalah sebagai berikut.

a. Tanggung jawab (accountability)
Pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan yang sah, lembaga atau orang itu termasuk pemerintah pusat, DPRD, Kepala Daerah dan masyarakat umum. Adapun unsur-unsur penting dalam tanggung jawab adalah mencakup keabsahan yaitu setiap transaksi keuangan harus berpangkal pada wewenang hukum tertentu dan pengawasan yaitu tata cara yang efektif untuk menjaga kekayaan uang dan barang serta mencegah terjadinya penghamburan dan penyelewengan dan memastikan semua pendapatan yang sah benar-benar terpungut jelas sumbernya dan tepat penggunaannya.

b. Mampu memenuhi kewajiban keuangan
Keuangan daerah harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka pendek, jangka panjang maupun pinjaman jangka panjang pada waktu yang telah ditentukan.

c. Kejujuran
Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah pada prinsipnya harus diserahkan kepada pegawai yang betul-betul jujur dan dapat dipercaya.

d. Hasil guna (efectiveness) dan daya guna (efficiency)
Merupakan tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya.

e. Pengendalian
Para aparat pengelola keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawasan harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut dapat tercapai.

2.1.1.2 Dasar hukum keuangan daerah. Dalam pengelolaan keuangan daerah sebagai suatu perwujudan dari rencana kerja keuangan akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan selain berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum yang berlandaskan pula pada :

a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah;
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah;
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom;
d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawabkan Keuangan Daerah;
e. Permendagri Nomor 5 Tahun 1997 tentang pelaksanaan tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi keuangan dan barang daerah;


2.1.2 Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Dengan berlandaskan pada dasar hukum di atas maka penyusunan APBD sebagai rencana kerja keuangan adalah sangat penting dalam rangka penyelenggaraan fungsi daerah otonom. Dari uraian tersebut boleh dikatakan bahwa APBD sebagai alat / wadah untuk menampung berbagai kepentingan publik (public accountability) yang diwujudkan melalui berbagai kegiatan dan program, di mana pada saat tertentu manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat umum.

Menurut Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia dan PAU-SE (Universitas Gadjah Mada) menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan instrumen kebijakan yang dipakai, sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, DPRD dan pemerintah daerah harus berupaya secara nyata dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi masing-masing daerah serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan dan akuntabilitas publik. Suatu anggaran yang telah direncanakan dengan baik hendaknya disertai dengan pelaksanaan yang tertib dan disiplin sehingga tujuan atau sasarannya dapat dicapai secara berdayaguna dan berhasilguna.

Mardiasmo (1999: 11) mengemukakan bahwa salah satu aspek dari pemerintah daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. Anggaran Daerah seharusnya dipergunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, alat bantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, alat otoritas pengeluaran di masa yang akan datang. Ukuran standar untuk evaluasi kinerja serta alat koordinasi bagi semua aktivitas di berbagai unit kerja. Penentuan besarnya penerimaan / pendapatan dan pengeluaran / belanja daerah tidak terlepas dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999, sumber-sumber penerimaan daerah terdiri dari 4 bagian, yakni :

a. Pendapatan Asli Daerah yaitu hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah;
b. Dana Perimbangan;
c. Pinjaman Daerah dan;
d. Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 juga menyebutkan bahwa, penerimaan daerah adalah semua penerimaan kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu. Pendapatan daerah adalah semua penerimaan kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah. Pengeluaran daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu. Belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.

Menurut struktur APBD yang berlaku sekarang, pengeluaran daerah terdiri dari 2 (dua) komponen yakni pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin merupakan total beban pemerintah daerah yang terdiri dari Belanja Pegawai dan Belanja non Pegawai yang secara terus menerus dibiayai tiap periode. Pengeluaran pembangunan adalah total beban pemerintah daerah yang berupa proyek fisik maupun non fisik dalam suatu periode tertentu.

Sumber-sumber penerimaan daerah dan komponen-komponen pengeluaran daerah sebagaimana diuraikan terdahulu ditampung di dalam APBD/Perubahan APBD sebelum dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan Anggaran Daerah dan proses penyusunan APBD sebagai berikut :

2.1.2.1 Prinsip-prinsip Penyusunan Anggaran Daerah. Menurut Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia dan PAU-SE (Universitas Gadjah Mada) terdiri dari :

a. keadilan anggaran
Keadilan merupakan salah satu misi utama yang diemban pemerintah daerah dalam melakukan berbagai kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran daerah. Pelayanan umum akan meningkat dan kesempatan kerja juga akan makin bertambah apabila fungsi alokasi dan distribusi dalam pengelolaan anggaran telah dilakukan dengan benar, baik melalui alokasi belanja maupun mekanisme perpajakan serta retribusi yang lebih adil dan transparan. Hal tersebut mengharuskan pemerintah daerah untuk merasionalkan pengeluaran atau belanja secara adil untuk dapat dinikmati hasilnya secara proporsional oleh para wajib pajak, retribusi maupun masyarakat luas. Penetapan besaran pajak daerah dan retribusi daerah harus mampu menggambarkan nilai-nilai rasional yang transparan dalam menentukan tingkat pelayanan bagi masyarakat daerah;

b. efisiensi dan efektivitas anggaran
Hal yang perlu diperhatikan dalam prinsip ini adalah bagaimana memanfaatkan uang sebaik mungkin agar dapat menghasilkan perbaikan pelayanan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Secara umum, kelemahan yang sangat menonjol dari anggaran selama ini adalah keterbatasan Daerah untuk mengembangkan instrumen teknis perencanaan anggaran yang berorientasi pada kinerja, bukan pendekatan incremental yang sangat lemah landasan pertimbangannya. Oleh karenanya, dalam penyusunan anggaran harus memperhatikan tingkat efisiensi alokasi dan efektivitas kegiatan dalam pencapaian tujuan dan sasaran yang jelas. Berkenan dengan itu, maka penetapan standar kinerja proyek dan kegiatan serta harga satuannya akan merupakan faktor penentu dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas anggaran;

c. anggaran berimbang dan defisit
Pada hakekatnya penerapan prinsip anggaran berimbang adalah untuk menghindari terjadinya hutang pengeluaran akibat rencana pengeluaran yang melampaui kapasitas penerimaannya. Apabila penerimaan yang telah ditetapkan dalam APBD tidak mampu membiayai keseluruhan pengeluaran, maka dapat dipenuhi melalui pinjaman daerah yang dilaksanakan secara taktis dan strategis sesuai dengan prinsip defisit anggaran. Penerapan prinsip ini agar alokasi belanja yang dianggarkan sesuai dengan kemampuan penerimaan daerah yang realistis, baik berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan keuangan, maupun pinjaman daerah. Di sisi lain, kelebihan target penerimaan tidak harus selalu dibelanjakan, tetapi dicantumkan dalam perubahan anggaran dalam pasal cadangan atas pengeluaran tidak tersangka, sepanjang tidak ada rencana kegiatan mendesak yang harus segera dilaksanakan;

d. disiplin anggaran
Struktur anggaran harus disusun dan dilaksanakan secara konsisten. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah rencana pendapatan dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk 1 (satu) tahun anggaran tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sedangkan pencatatan atas penggunaan anggaran daerah sesuai dengan prinsip akuntansi keuangan daerah Indonesia. Tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek yang belum/tidak tersedia kredit anggarannya dalam APBD/perubahan APBD. Bila terdapat kegiatan baru yang harus dilaksanakan dan belum tersedia kredit anggarannya, maka perubahan APBD dapat disegerakan atau dipercepat dengan memanfaatkan pasal pengeluaran tak tersangka, bila masih memungkinkan. Anggaran yang tersedia pada setiap pos/pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran, oleh karenanya tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek melampaui batas kredit anggaran yang telah ditetapkan. Di samping itu pula, harus dihindari kemungkinan terjadinya duplikasi anggaran baik antar Unit Kerja antara Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan serta harus diupayakan terjadinya integrasi kedua jenis belanja tersebut dalam satu indikator kinerja. Pengalokasian anggaran harus didasarkan atas skala prioritas yang telah ditetapkan, terutama untuk program yang ditujukan pada upaya peningkatan pelayanan masyarakat. Dengan demikian, akan dapat dihindari pengalokasian anggaran pada proyek-proyek yang tidak efisien;

e. transparansi dan akuntabilitas anggaran
Transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan anggaran, penetapan anggaran, perubahan anggaran dan perhitungan anggaran merupakan wujud pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada masyarakat, maka dalam proses pengembangan wacana publik di daerah sebagai salah satu instrumen kontrol pengelolaan anggaran daerah, perlu diberikan keleluasaan masyarakat untuk mengakses informasi tentang kinerja dan akuntabilitas anggaran. Oleh karena itu, anggaran daerah harus mampu memberikan informasi yang lengkap, akurat dan tepat waktu untuk kepentingan masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dalam format yang akomodatif dalam kaitannya dengan pengawasan dan pengendalian anggaran daerah. Sejalan dengan hal tersebut, maka perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan proyek dan kegiatan harus dilaksanakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun ekonomis kepada pihak legislatif, masyarakat maupun pihak-pihak yang bersifat independen yang memerlukan.

2.1.2.2 Proses penyusunan APBD. Proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Indramayu yang diawali dengan proses penentuan rencana plafond APBD sesuai siklus anggaran dimulai dari :

a. proses penentuan penerimaan daerah;
b. proses penentuan belanja rutin;
c. proses penentuan belanja pembangunan;
Selanjutnya hasil rencana anggaran yang telah disusun secara terpadu diajukan kepada Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan dan kemudian disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam bentuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah guna dibahas dan disetujui DPRD, sehingga penetapannya dapat dituangkan di dalam peraturan daerah. Seluruh rangkaian proses penjadwalan yang diuraikan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 2.1
Proses Penyusunan APBD

No. Tahap Bulan Uraian Instansi
1. Tahap ke satu September Pengajuan Dukda dan Dupda Dinas instansi daerah
2 Tahap ke dua Oktober Minggu I dan II Penelitian dan pembahasan Dukda dan Dupda Bappeda bagian keuangan, bagian penyusunan program dinas instansi daerah
3. Tahap ke tiga Oktober Minggu III dan IV Pengolahan Dukda dan Dupda dan penyesuaian skala prioritas Bappeda, bagian keuangan, bagian penyusunan program
4. Tahap ke empat Nopember Minggu I dan II Dukda dan Dupda yang telah dibahas diajukan kepada kepala daerah, disusun dalam bentuk pra APBD untuk disampaikan kepada DPRD.
5. Tahap ke lima Nopember Minggu III dan IV Penyampaian nota keuangan dan rancangan Perda tentang penetapan APBD
Pembahasan
Persetujuan
Penetapan Eksekutif
DPRD
DPRD
DPRD dan Kepala Daerah

6. Tahap ke enam Desember Minggu III dan IV Pengesahan Perda tentang APBD dan persiapan pelaksanaan APBD Pejabat yang berwenang

Sumber : Bagian Keuangan, Laporan Proses Penyusunan APBD Kabupaten Indramayu, 2001.

Kemampuan aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi daerah khususnya di bidang pengelolaan keuangan daerah dapat dianalisis dari kinerja aparatur pemerintah daerah. Kinerja diartikan sebagai bentuk prestasi atau hasil dari perilaku pekerja tertentu yang merupakan fungsi dari kemampuan (ability) dukungan (support) dan usaha (effort), untuk mengukur seberapa besar kinerja aparatur pemerintah daerah yang dapat diukur dengan kriteria efektivitas, dan efisiensi.


2.1.3 Pengertian efisiensi, efektivitas dan korelasi

Efisiensi mengandung beberapa pengertian, yaitu :
a. efisiensi pada sektor usaha swasta (private sector efficiency). Efisiensi pada sektor usaha swasta dijelaskan dengan konsep input output yaitu rasio dari output dan input;

b. efisiensi pada sektor pelayanan masyarakat (public sector efficien). Efisiensi pada sektor pelayanan masyarakat adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan baik dengan pengorbanan seminimal mungkin;

c. suatu kegiatan dikatakan telah dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapai sasaran (output) dengan biaya (input) yang terendah atau dengan biaya (input) minimal diperoleh hasil (output) yang diinginkan.

Pengertian efektivitas berhubungan dengan derajat keberhasilan suatu operasi pada sektor publik sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap kemampuan menyediakan pelayanan masyarakat yang merupakan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Efektivitas menurut Devas, dkk., (1989, 279-280) adalah hasil guna kegiatan pemerintah dalam mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah dengan biaya serendah-rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya.

Faktor penentu efisiensi dan efektivitas sebagai berikut.

a. faktor sumber daya baik sumber daya manusia seperti tenaga kerja, kemampuan kerja, maupun sumber daya fisik seperti peralatan kerja, tempat bekerja serta dana keuangan.
b. faktor struktur organisasi yaitu susunan yang stabil dari jabatan-jabatan baik itu struktur maupun fungsional.
c. faktor teknologi pelaksanaan pekerjaan.
d. faktor dukungan kepada aparatur dan pelaksanaannya baik pimpinan maupun masyarakat.
e. faktor pimpinan dalam arti kemampuan untuk mengkombinasikan keempat faktor tersebut kedalam suatu usaha yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mencapai sasaran yang dimaksud.

Menurut Algifari (1997: 146), bahwa untuk mengetahui keeratan hubungan antara dua variabel dengan menggunakan koefisien korelasi adalah dengan menggunakan nilai absolut dari koefisien korelasi tersebut. Selanjutnya menurut Sardjonopermono (1981: 1) analisis korelasi adalah metode statistika yang digunakan untuk menentukan kuatnya atau derajat hubungan garis lurus (linear) antara 2 (dua) variabel atau lebih. Dengan dua variabel, semakin nyata hubungan garis lurus (linear) semakin kuat atau tinggi derajat hubungan garis lurus (linear) antara kedua variabel tersebut. Ukuran untuk derajat hubungan garis lurus ini dinamakan koefisien korelasi (the correlation coeffisient).

2.2 Landasan Teori
Salah satu masalah dalam pembangunan daerah adalah rendahnya dana yang bersumber dari daerah sendiri sehingga proses otonomi khususnya di bidang keuangan daerah masih memiliki ketergantungan yang tinggi kepada pemerintah pusat, maka otonomi secara benar sulit untuk diketahui. Selama ini bantuan pemerintah pusat kepada daerah-daerah dalam bentuk subsidi masih sangat besar hal ini dapat dimengerti sebab pendapatan asli daerah masih sangat rendah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di daerah, maka perlu ditingkatkan penerimaannya agar pemerintah daerah dapat menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan secara berdayaguna dan berhasilguna serta perlu pula upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah daerah untuk meminimalkan ketergantungan kepada pemerintah pusat mengingat daerah memiliki potensi dan kemampuan untuk mencapai sumber-sumber penerimaan yang dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan pembangunan di daerah.

2.3 Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut.
1. Tingkat efektivitas dan efisiensi APBD Kabupaten Alor cukup efektif dan efisien.
2. Ada hubungan erat antara realisasi penerimaan dan realisasi pengeluaran rutin.

2.4 Alat Analisis
Model (alat analisis) yang digunakan untuk menganalisis hasil penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi dengan hubungan keeratan antara realisasi penerimaan dan pengeluaran rutin dalam proses pengelolaan keuangan daerah oleh pemerintah daerah dari tahun 1994/1995 sampai dengan tahun 1999/2000.

2.4.1 Analisis efisiensi
Hasil analisis yang dilakukan terhadap pengelolaan keuangan daerah khususnya pengelolaan penerimaan daerah dengan pengeluaran rutin menggunakan ukuran tingkat efisiensi yaitu perbandingan antara realisasi pengeluaran anggaran rutin dengan pendapatan/penerimaan daerah dikalikan dengan seratus dalam bentuk persentase.
Pengeluaran rutin
Efisiensi = x 100%
Penerimaan

Dengan mengetahui hasil perbandingan antara realisasi pengeluaran rutin dan realisasi penerimaan dengan menggunakan ukuran efisiensi tersebut dapat dilakukan terhadap sistem pengelolaan keuangan pemerintah daerah, dengan kriteria penilaian berdasarkan penilaian dan kinerja keuangan yang disusun dalam tabel berikut ini (lihat Medi, 1996: 77).

Tabel 2.2
Kriteria Kinerja Keuangan

Persentase Kinerja Keuangan Kriteria
100% ke atas
90% - 100%
80% - 90%
60% - 80%
dibawah dari 60% Tidak efisien
Kurang efisien
Cukup efisien
Efisien
Sangat efisien
Sumber : Depdagri, Kepmendagri No. 690.900.327 tahun 1996 tentang Pedoman Penilaian dan Kinerja Keuangan, 1997.

2.4.2 Analisis efektivitas
Analisis efektivitas pengelolaan keuangan pemerintah daerah dapat dirumuskan dengan menggunakan rasio perbandingan antara realisasi penerimaan dengan target yang ditetapkan dikalikan dengan seratus dalam bentuk persentase.
Realisasi penerimaan
Efektivitas = x 100%
Target

Nilai efektivitas diperoleh dari perbandingan sebagai mana tersebut diatas diukur dengan kriteria penilaian kinerja keuangan yang disusun dalam tabel berikut ini (lihat Medi, 1996: 77).
Tabel 2.3
Kriteria Kinerja Keuangan

Persentase Kinerja Keuangan Kriteria
di atas 100%
90% - 100%
80% - 90%
60% - 80%
kurang dari 60% Sangat efektif
Efektif
Cukup efektif
Kurang efektif
Tidak efektif
Sumber : lihat tabel 2.2.

2.4.3 Analisis korelasi
Untuk mengetahui keeratan hubungan antara realisasi penerimaan (Y) dan realisasi pengeluaran rutin (X) dipergunakan analisis korelasi dengan formulasi sebagai berikut (lihat Algifari, 1997: 146).

r =
di mana :
r adalah koefisien korelasi
n adalah jumlah periode
Y adalah realisasi penerimaan
X adalah realisasi pengeluaran rutin
Besarnya koefisien korelasi (r) antara dua buah variabel (Y dan X) adalah nol sampai dengan  1. Apabila dua buah variabel (Y dan X) mempunyai nilai r = 0 berarti variabel-variabel tersebut tidak ada hubungan. Apabila variabel-variabel itu mempunyai r =  1, maka kedua variabel tersebut mempunyai hubungan yang sempurna.