ANALISIS PENGARUH ATAU EFEKTIFITAS PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA PEMBANGUNAN TERSEBUT TERHADAP LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TANGERANG


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN ALAT ANALISIS


2.1 Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang retribusi daerah telah banyak dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh hasil berupa peningkatan penerimaan, sehingga ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dapat dikurangi. Penelitian yang dilakukan oleh Mc Queen (1998) secara langsung tidak berhubungan dengan suatu jenis retribusi daerah tertentu tetapi biaya pengguna (user fees) adalah komponen penting basis pendapatan kota yang akan memerlukan perhatian penting pada pembuatan kebijakan di masa yang akan datang, sehingga ditawarkan model kebijakan yang sesuai untuk menilai biaya pengguna yang ada dan mempertimbangkan yang baru. Dalam membuat model ini banyak sisi topik biaya pengguna ini memerlukan kajian rinci yaitu rencana komunikasi untuk melaksanakan kebijakan dan perubahan biaya pengguna, pengembangan sistem manajeman kinerja yang mengikat tiap kinerja manajer dengan layanan yang ditutup dengan biaya pengguna, model akunting biaya khusus bisa dikembangkan untuk menyediakan biaya yang lebih akurat dan terkait dengan layanan ,dan terakhir batasan (bencmark) dengan kota lain dan perusahaan swasta yang dapat membantu dalam menilai kinerja layanan.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Downing (1992) pada pemerintahan kotapraja di Amerika Serikat tentang potensi pendapatan beban pemakai (user charges) dalam pembiayaan kotapraja. Hasil penelitiannya bahwa masa depan pada beban pemakai di berbagai kota dapat berkembang secara substansial. Estimasi potensi pendapatan beban pemakai dalam pembiayaan kota praja melalui beberapa pendekatan yaitu pengalaman pembayar, biaya marjinal dan pendekatan eksternalitas, beban efesiensi dan ekternalitas . Alternatif pada pendekatan pengalaman pembayar adalah pendekatan yang didasarkan pada efisiensi ekonomi yang memuat dua komponen yaitu biaya marjinal dan eksternalitas. Pendekatan biaya marjinal tidak digunakan dalam pembiayaan kota, tetapi pendekatan tipikal yaitu mengkalkulasi total pengeluaran untuk memberikan pelayanan dan selanjutnya menentukan rata-rata dari biaya saku dan biasanya biaya ini ditetapkan sebagai beban pemakai. Dengan demikian pengalaman tipikal mengabaikan seberapa biaya yang “tersembunyi” seperti biaya modal yang dilahirkan.

Ada beberapa pengertian tentang retribusi , menurut Sproule-jones dan White (1998) bahwa retribusi (user fees) adalah semua biaya yang dikenakan pada semua individu untuk penggunaan layanan yang memberikan manfaat langsung kepada mereka. User fees bisa dianggap sebagai pajak konsumsi, dan bukan harga layanan yang diberikan. Dasar pendapat mereka adalah biaya pengguna berupaya menutup biaya operasi saja , umumnya dihitung berdasarkan penentuan biaya harga rata-rata dan cenderung tidak diterapkan pada pendapatan untuk program dan fasilitas yang diberikan, tetapi pemerintah kota saat ini tengah mempertimbangkan biaya tak langsung dan alokasi pemindahan modal saat membuat penentuan harga. Selain itu sebagian besar sistem akunting pemerintah kota melaporkan pendapatan dari biaya pengguna (user fees) sebagai pengembalian langsung kepada program atau layanan yang diberikan ( lihat Mc Queen,1998 :7).

Menurut Soedargo (1995), retribusi adalah suatu pungutan sebagai pembayaran untuk jasa yang oleh negara secara langsung diberikan kepada yang berkepentingan. Atau menurut Munawir (1995), retribusi adalah iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan jasa balik secara langsung dapat ditunjukan . Paksaan ini bersifat ekonomis karena siapa saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah, tidak dikenakan iuran itu ( lihat Harits, 1995 :84).

Menurut Davey (1988:30) retribusi adalah pungutan yang dibayar langsung oleh mereka yang menikmati suatu pelayanan ,dan biasanya dimaksudkan untuk menutup seluruh atau sebagian dari biaya pelayanan. Perbedaan di dalam tingkat penyediaan, penerimaan relatif, kemudahan pemungutan dan kebutuhan untuk menguji atau mendisiplinkan konsumen utama seluruhnya merupakan sifat atau tradisi suatu alat pemerataan, retribusi dibentuk untuk tujuan-tujuan ini di mana untuk ini ada keinginan politis dan tidak ada alternatif fiskal yang cocok.

Davey (1988:148-153) mengatakan bahwa retribusi di dalamnya mengandung berbagai penilaian.
1. Penilaian kecukupan
Pengenaan retribusi yang bervariasi, sehingga lebih berorientasi pada kecukupan biaya pelayanan yang diberikan biasanya mengabaikan kontribusinya kepada penerimaan pemerintah daerah.

2. Penilaian keadilan
Dalam pemungutan harus bersifat seadil mungkin, misalnya pengenaan tarif yang berbeda atas dasar kelas-kelas pemakai tertentu.

3. Penilaian kemampuan administrasi
Secara teoritis, retribusi mudah ditaksir dan dipungut karena pertanggungjawabannya didasarkan atas konsumsi yang dapat diukur, mudah dipungut sebab penduduk hanya mendapatkan apa yang mereka bayar.

4. Penilaian kesepakatan politik
Perlu adanya kesepakatan politik antara pemerintahan daerah dan DPRD dalam setiap upaya peningkatan retribusi.

Kebijaksanaan mengenai pungutan atas layanan yang diberikan oleh pemerintah daerah , umumnya pemerintah daerah tidak memiliki gambaran yang jelas mengenai harga layanan yang diberikan. Susunan tarif untuk suatu layanan tertentu sering terkait erat dengan biayanya. Bahan keterangan mengenai biaya umumnya sangat tidak memadai untuk dasar menentukan kebijaksanaan harga. Data biaya untuk suatu layanan tertentu hendaknya disiapkan dalam rincian yang lebih cermat, lebih banyak menggunakan “pusat biaya” dan lebih cermat menggolongkan berbagai biaya tetap ( Devas dkk, 1989:115-116).

Salah satu cara untuk mengukur kinerja perusahaan suatu organisasi adalah melihat efisiensi dan efektivitas. Efisiensi pada dasarnya adalah optimalisasi penggunaan sumber-sumber dalam upaya mencapai tujuan organisasi tersebut, sedangkan efektivitas menunjukkan pada keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai tujuan (Jones dan Pendlburg, 1996:9-10). Pendapat lain mengenai efektivitas yaitu mengukur hubungan antara hasil pungut suatu pajak dan potensi hasil pajak itu, dengan anggapan semua wajib pajak membayar pajak masing-masing dan membayar seluruh pajak terhutang masing-masing (Devas, 1989:144).

Penelitian yang berkaitan dengan retribusi kebersihan ini dilakukan oleh Mayusdi (1995). Penelitian ini bertujuan mengukur kinerja pengelolaan sampah dan kemungkinan kemampuan keuangan pemerintah daerah dalam penanganan pengelolaan sampah ditinjau dari penerimaan retribusi kebersihan Kotamadya Jakarta Timur. Alat analisis yang digunakan adalah analisis efektivitas, efisiensi dan ekonomis yang dirangkum menjadi analisis peluang kerjasama dengan melibatkan pihak swasta dalam penanganan pengelolaan sampah di Kotamadya Jakarta Timur.
Dari uraian di atas, tampak bahwa pemerintah daerah menghadapi kesulitan dalam hal :

1. menentukan tarif retribusi yang jelas;
2. kurangnya data yang mendukung;
3. produktivitas pegawai yang rendah ;
4. kurangnya kesadaran aparat pelaksana dalam melaksanakan tugasnya;
5. penentuan target ditentukan tidak berdasarkan persentase potensi.

Beberapa kesulitan yang disebutkan di atas menjadi faktor-faktor yang diduga mempunyai pengaruh terhadap upaya-upaya mengoptimalkan penerimaan daerah terutama melaui PAD.
Pengelolaan retribusi kebersihan di Kabupaten Tangerang yang ditetapkan dengan Perda No. 5 Tahun 1998 menjelaskan tentang obyek-obyek retribusi yang meliputi badan / organisasi maupun perorangan yang menikmati jasa atas pelayanan langsung dari Pemda seperti pabrik/industri, restauran/rumah makan, Hotel, Rumah Toko, Rumah Tinggal dan pasar, serta objek perorangan lainnya. Penetapan tarif retribusi ditentukan menurut jenis usahanya masing-masing. Jumlah pemakaian jasa (obyek) langsung perlu dibenahi administrasinya sehingga dapat diperkirakan berapa jumlah pasti obyek yang bisa dijadikan sumber potensi yang diharapkan akan membawa dampak positif dalam upaya peningkatan retribusi kebersihan yang dengan sendirinya dapat meningkatkan PAD secara khusus serta dapat memberi kontribusi yang diharapkan cukup baik bagi Kemampuan Keuangan Daerah secara umum. Dengan keterbatasan semacam ini dan juga dengan mempertimbangkan bahwa obyek penelitian ini menggunakan jenis retribusi daerah yang berbeda, yaitu retribusi kebersihan, maka untuk mendapatkan kejelasan dan pemahaman yang lebih baik tentang jenis retribusi ini dirasakan untuk dilakukan penelitian tersendiri.

2.2 Landasan Teori
Pemberdayaan potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus lebih ditingkatkan mengingat PAD adalah sumber yang sering dijadikan ukuran kemampuan daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah, dan salah satu sumber PAD yang dominan adalah retribusi daerah. Jadi ciri yang mendasar dari retribusi adalah:
1. iuran yang dipungut pemerintah;
2. ada balas jasa secara langsung;
3. ada unsur ekonomi;
4. transaksi yang lebih bersifat sukarela;
5. dapat dikenakan pada orang atau badan hukum.

Dengan demikian pungutan retribusi sangat dipengaruhi oleh layanan jasa yang diberikan pemerintah/daerah pada masyarakat. Berbeda dengan pajak daerah, dilihat dari sudut lapangannya maka retribusi daerah masih terbuka lebar pengembanganya melalui peningkatan pelayanan, sepanjang jasa pelayanan yang diberikan betul-betul nyata. Salah satu retribusi yang sangat potensial di Kabupaten Tangerang adalah retribusi kebersihan .

Untuk meningkatkan penerimaan retribusi kebersihan tersebut perlunya dikaji potensi penerimaannya, sehingga dapat diambil langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut. Pencapaian yang optimal dapat dianalisis melalui efektivitas, efisiensi dan analisis kecukupan. Analisis efektivitas akan diketahui sampai seberapa besar kapasitas retribusi kebersihan kota yang ada telah termanfaatkan secara optimal atau belum. Dengan demikian dapat ditentukan langkah-langkah yang tepat untuk mendorong peningkatan pemanfaatan kapasitas retribusi yang belum termanfaatkan tersebut, dan analisis efisiensi akan diketahui sampai seberapa besar biaya memungut yang telah dikeluarkan dapat menghasilkan penerimaan yang optimal ataukah tidak, sedangkan analisis kecukupan untuk mengetahui berapa alokasi biaya pengelolaan kebersihan sehingga timbulan sampah yang ada dapat diatasi. Untuk mengoptimalkan pengelolaan persampahan dalam upaya peningkatan pemungutan retribusi pelayanan persampahan maka diperlukan suatu kebijakan melalui perencanaan strategi dengan menggunakan analisis SWOT pada Dinas Kebersihan Kabupaten Tangerang. Secara skematis dapat digambarkan seperti di bawah ini :

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Pengelolaan Persampahan
2.3 Alat Analisis Data
2.3.1 Potensi retribusi kebersihan
Untuk mengetahui profil penerimaan retribusi kebersihan maka dapat dilihat dari sejumlah obyek pelayanan persampahan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan, berupa : industri / pabrik-pabrik, hotel / penginapan, restoran / rumah makan, toko-toko, kantor-kantor, tempat usaha lainnya, rumah tinggal yang bersatu dengan toko yang terletak di luar jalan protokol, rumah tinggal yang terletak di jalan protokol dan kompleks perumahan, warung-warung dan sejenisnya yang terletak di jalan protokol, kios-kios/ warung-warung dan pedagang dalam areal pasar.
Berdasarkan data tersebut, dapat diperoleh formulasi penghitungan potensi penerimaan retribusi pelayanan persampahan/ kebersihan sebagai berikut ( Davey,1988:30) :

Pr = [ (in x r ) + (ht x r) + (sk x r) + (kp x r ) + (pp x r ) + (ps x r ) + (rp x r) ] …………………………………………….. (2.1)

Di mana :
Pr = Potensi retribusi kebersihan
r = tarif retribusi kebersihan (Perda No. 5/1998)
in = industri
ht = hotel
sk = sarana komersil
kp = komplek perumahan
pp = perumahan di jalan protokol
rp = ruko di jalan protokol
ps = pasar


2.3.2 Efisiensi (daya guna )
Besaran ini mengukur bagian dari hasil retribusi yang digunakan untuk menutup biaya (biaya marjinal) memungut retribusi yang bersangkutan. Daya guna akan lebih besar bila biaya untuk menata penerimaan ditekan serendah mungkin . Formulasi yang digunakan adalah (Devas,1989):
Efisiensi = ........... ………………… (2.2)

2.3.3 Efektivitas (hasil guna)
Besaran ini mengukur hubungan antara hasil retribusi terhadap potensi retribusi. Formulasi hasil guna digunakan adalah (Devas,1989):
Efektivitas (a) = ....................…... (2.3)
Efektivitas (b) = …………………… (2.4)

2.3.4 Analisis kecukupan
Analisis ini mengukur tingkat kecukupan biaya pengelolaan persampahan agar pelayanan persampahan dapat optimal yaitu dengan mengukur :
2.3.4.1 Volume sampah setiap obyek pelayanan persampahan, dengan menggunakan formulasi sebagai berikut :
setiap obyek sampah x standar laju generasi sampah …….(2.5)
2.3.4.2 Kebutuhan alat pengumpulan, digunakan formulasi sebagai berikut :
 gerobak = … (2.6)
 TPS = … (2.7)
2.3.4.3 Kebutuhan alat pengangkutan terdiri dari kendaraan truk , untuk mengetahui jumlah kebutuhan tersebut di atas digunakan formulasi sebagai berikut :
 Truk = …………………………………………… (2.8)
di mana :
Jk =
Fk =
2.3.4.4 Struktur pembiayaan terdiri dari biaya investasi dan biaya operasional dan pemeliharaan. Biaya investasi digunakan perhitungan sebagai berikut : Investasi x Harga satuan per unit ………… (2.9)

2.3.5 Analisis SWOT
Analisis SWOT yaitu analisis yang membandingkan antara faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan (Rangkuti, 2000:19). Analisis ini pada prinsipnya strategi yang menghasilkan keserasian yang kuat antara kemampuan internal dan situasi eksternal.

Analisis SWOT merupakan alat yang digunakan untuk memperoleh gambaran situasi strategis dari sebuah Unit Kerja Ekonomi (UKE).. Kekuatan UKE merupakan segala sesuatu yang menjadikan UKE memiliki kemampuan untuk melakukan kewajibannya dengan baik sehingga tujuan UKE tercapai (Mardiasmo dan Makhfatih, 2000:36).

Menurut Rangkuti (2000 :21-25) tahapan-tahapan dalam penyusunan perencanaan strategis melalui tiga tahap analisis yaitu:
1. tahapan pengumpulan data;
2. tahap analisis;
3. tahap pengambilan keputusan.
1. Tahap Pengumpulan Data

Evluasi Faktor Evaluasi Faktor Matrik Profil
Eksternal Internal
2. Tahap Analisis
Matrik Matrik Matrik Matrik Matrik
Tows Bcg Internal Space Grand
Eksternal Strategy
3. Tahap Pengambilan Keputusan
Matrik Perencanaan Strategi Kuantitatif
Sumber : Rangkuti (2000 : 21)

Diagram 2.1 Kerangka Formulasi Strategis

Tahapan pengumpulan data merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra analisis. Pada tahap ini data dapat dibedakan menjadi dua yaitu data eksternal yang diperoleh dari lingkungan di luar organisasi dan data internal yang diperoleh di dalam organisasi. Model yang dipakai pada tahap ini yaitu matrik faktor strategi eksternal (EFAS), matrik faktor strategi internasl (IFAS) dan matrik profil kompetitif (dalam mengukur kondisi retribusi tidak dipergunakan). Selanjutnya untuk mengukur kondisi dari retribusi pelayanan persampahan diperlukan sistem pembobotan terhadap masing-masing aspek dengan cara :
1. terlebih dahulu membuat prioritas dari yang pengaruhnya dianggap paling kuat ke yang paling lemah;
2. menentukan persentase bobotnya dari masing-masing aspek yang antara lain:
a). aspek kekuatan dan kelemahan sebagai aspek yang dilihat dari dalam (internal );
b). aspek peluang dan ancaman yaitu aspek yang dilihat dari luar (eksternal).
Persentase pembobotan, diberikan nilai bobot yang sama untuk analisis SWOT keadaan awal. Analisis SWOT yang diberikan bobot didasarkan atas daftar pertanyaan atau kuesioner yang disetujui dari responden yang mau menjawab pertanyaan dan telah menyerahkan daftar pertanyaan tersebut.
Setelah masing-masing aspek dibobot, selanjutnya diadakan penilaian dengan menggunakan hasil identifikasi SWOT, seperti pada tabel 2.1 di bawah ini :


Tabel 2.1 Sistem Pembobotan SWOT
Aspek Internal atau Eksternal Nilai Rating Bobot Skor
Tertimbang
Faktor Kunci sukses Sangat kuat, kuat, lemah, paling lemah. 4 sampai 1 Persentase tersetujui Rating x bobot
Total Skor total
Sumber : Rangkuti (2000 :23-25)

Langkah seterusnya dibentuk diagram analisis SWOT dengan cara pembobotan terhadap variabel-variabel terukur (aspek kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman). Posisi pada koordinat merupakan total skor tertimbang hasil dari :
1. skor tertimbang aspek kekuatanskor tertimbang aspek kelemahan;
2. skor tertimbang aspek peluang  skor tertimbang aspek ancaman.
Aspek internal (SW) pada sumbu horizontal dan aspek eksternal (OT) pada sumbu vertikal, sehingga dapat diketahui letak dari obyek yang dikaji di dalam peta tersebut.


Diagram 2.2 Diagram Analisis SWOT

Strategi yang digunakan untuk mengoptimalisasikan pemungutan retribusi kebersihan dipergunakan matrik Tows atau SWOT yang dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi organisasi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, berdasarkan hasil perhitungan dalam diagram analisis SWOT. Hal ini dapat dilihat pada diagram berikut :
IFAS
EFAS Kekuatan ( S ) Kelemahan (W)
Peluang (O) Strategi SO
Gunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang Strategi WO
Atasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang
Ancaman (T) Strategi ST
Gunakan kekuatan untuk menghindari ancaman Strategi WT
Atasi kelemahan mencegah ancaman
Diagram 2.3 Matrik SWOT